Batang Pohon Ceiba oleh Naminiat Popy
Cerpen ini dimuat di Majalah
STORY No.18 Tahun 2010
![]() |
@NaministPopy |
Aku melangkah penuh kecemasan saat memasuki gerbang
tinggi yang membuka bangunan tua yang masih tetap bertahan hingga kini. Tempat
itu dibingkai pepohonan ceiba yang tumbuh subur; batangnya besar dengan
rata-rata diameter lebih dari satu meter, daunnya rimbun menghijaukan
pandangan, dan bunga-bunga putihnya jatuh berguguran mengubani rerumputan. Aku
ngeri sekaligus rindu pada pohon yang katanya keramat bagi bangsa maya yang
mengatakan kiamat pada tahun 2012. Pun semua kenangan di dalam bangunan tua itu.
Tapi, aku takut untuk tahu yang sebenarnya. Sangat takut bila akhirnya kecewa.
Begitu banyak kenangan tersimpan rapi di sana: saat-saat
pertama aku mengenalnya, saat-saat indah melalui hari bersamanya, juga
saat-saat sedih harus kehilangan dirinya. Dia yang pernah kulupakan, kini
menguasai hatiku lagi. Aku tak mampu menepis bayangnya walau sedetik pun.
Seseorang yang sangat kusayangi dan selamanya akan tetap kusayangi, walaupun
pernah kuabaikan.
Aku melanjutkan perjalanan dan mulai menapakkan kakiku
pada lantai keramik yang berwarna senada dengan cat bangunan tua itu. Aku tak
mau menengok ke belakang. Ada taman pohon ceiba yang akan membuka luka lamaku.
Udara sejuk di sini membuatku sesak karena rasa takut yang menyerbu. Aku takut
bertemu kenangan masa lalu yang menyakitkan. Kenangan bersamanya yang telah
mengecewakanku.
“Ve…, Ve…” tegur seseorang di belakangku terbata.
Sepertinya ia sangat mengenalku. Langkah kakinya hampir mendekat. Aku tak mau
menengok. Suara itu memanggil-mangilku terus tiada hentinya. Kutulikan
pendengaranku dan berlari sekencang mungkin. Hingga aku menubruk punggung
seorang cowok yang sangat kukenal, “Randu!” kataku spontan. Seorang wanita
seolah menepuk bahuku. Aku menoleh. Nisya tersenyum padaku.
***
Sesungguhnya aku tak pernah mau menapakkan kakiku lagi di
sekolah ini. Namun, Ujian Nasional memaksaku untuk melawan rasa takut. Dan
Randu, seseorang yang memaksaku untuk datang ke sini. Membuktikan kebenaran atas
janji jari kelingking yang pernah kami ucapkan dulu. Ya, janji yang kami
ikrarkan di bawah pohon ceiba, sebelum ujian. Selama beberapa hari aku akan
bersamanya melewati hari-hari yang penuh teka-teki.
“Randu, kita janji jari kelingking dong. Ujian Nasional
nggak usah nyontek, ya. Tolak bocoran! Percaya diri kalau kita pasti bisa. Kita
kan udah belajar,” kataku pada Randu saat istirahat.
“Baiklah. Gue mau ukir nama lo dan nama gue di batang
pohon ini. Sebagai tanda bahwa masih ada dua siswa yang nggak nyontek sampai
ujian selesai.” Jemari Randu mengukir namaku terlebih dahulu. Bel sudah keburu
berbunyi saat ia baru mulai mengukir namanya. Kami berlari menuju kelas. Di
perjalanan kami terus mengingkrarkan janji, “No bocoran! No nyontek!”.
Setelah hari itu, kami libur selama beberapa hari. Di
hari tenang aku sangat merindukan Randu. Namun apa boleh buat, aku baru bisa
menemuinya Senin nanti. Sekarang waktunya belajar dan belajar.
Tiba juga Senin yang kunantikan. Kulihat wajah Randu amat
tegang. Ini ujian hari pertama. Teman-teman yang lain sibuk menunggu bocoran
dari ketua kelas. Sudah menjadi rahasia umum bila bocoran dan menyontek adalah
hal legal bagi siswa-siswi sekolah menengah. Malahan terkoordinir dengan sangat
baik, mulai dari sumber sampai penyebarannya. Hampir semua siswa-siswi di
kelasku menunggu bocoran yang sudah mereka bayar secara patungan. Dan bel pun
berbunyi. Bocoran terlambat datang pada hari pertama.
Semua soal mampu kukerjakan dengan baik. Setengah jam
sebelum bel kulirik Randu yang duduk di bangku belakang. Randu terlihat sangat
panik. Harapanku, ia segera tenang dan yakin bisa mengerjakannya. Namun
kegelesahan menyelimuti pikirannya. Randu seperti amnesia dengan semua yang
pernah dipelajari.
“Ve, gue nggak bisa ngerjain soal. Kayaknya gue mesti pakai
bocoran. Pelajaran kedua bakalan keluar bocorannya lima menit sebelum bel.”
Randu memohon agar aku mengizinkannya. Usai ujian pelajaran pertama, hatiku
kacau akibat ucapan Randu barusan. Kutarik lengannya menuju pohon ceiba. Ia
menolak.
“Ve, lo sih pinter, tapi gue… Bisa-bisa gue nggak lulus
kalau nggak pakek bocoran!” Randu menatap mataku tajam. “Gue udah bayar buat
jaga-jaga,” lanjutnya lagi.
Aku hanya mampu terdiam. Menahan sakit atas ucapan Randu.
Ia mengkhianati janji kami. Janji yang kami ikrarkan waktu itu. Janji yang ia
tulis di batang pohon ceiba. Aku berlari meninggalkan Randu yang masih terpaku.
Taman pohon ceiba itu obatnya.
Randu. Yang kutahu dari nama itu adalah nama sebuah pohon
tinggi besar yang memiliki bunga putih yang bila tertiup angin dengan mudahnya
terlepas dari ranting-rantingnya yang elok. Pohon yang sangat indah. Pohon
randu yang biasa kusebut pohon ceiba. Aku dan Randu selalu menghabiskan waktu
istirahat untuk belajar bersama di bawahnya.
Bel pun berbunyi. Aku kembali ke kelas. Tak mau pedulikan
Randu lagi. Kekecewaan padanya sungguh mendalam. Aku telah kehilangan Randuku
yang dulu. Setahuku ia memang tidak terlalu pandai, tapi kami sudah belajar
mati-matian. Dan aku yakin ia pasti bisa.
Hari kedua dan seterusnya, aku tak pernah merasakan
keberadaannya. Hingga ujian hari terakhir aku sangat merindukannya.
Kuperhatikan dengan serius setiap jejak pikirannya. Setiap ia membaca soal,
menganalisisnya, hingga menentukan pilihan pada satu jawaban yang diniai paling
benar. Tangannya membulatkan salah satu huruf dari lima huruf yang tersedia.
Hingga waktu berakhir dan ujian dinyatakan selesai, aku tak menemukan Randu
yang menggantungkan kelulusannya pada bocoran yang telah ia bayar.
Ya Tuhan, jadi selama ini aku salah? Bermuka masam setiap
kali bertemu dengannya adalah kesalahan besar. Sampai hari kelulusan pun aku
cuma bisa diam dan diam. Tanpa menyapa Randu. Aku bahkan belum tahu, dia lulus
atau dia tidak lulus? Ah, aku baru bisa tahu besok pagi.
***![]() |
@NaministPopy |
“Ve…” tegur seseorang di belakangku terbata. Sepertinya
ia sangat mengenalku. Langkah kakinya hampir mendekat. Aku tak mau menengok.
Suara itu memanggil-mangilku terus tiada hentinya. Kutulikan pendengaranku dan
berlari sekencang mungkin. Hingga aku menubruk punggung seorang cowok yang sangat
kukenal, “Randu!” kataku spontan. Seorang wanita seolah menepuk bahuku. Aku
menoleh. Nisya tersenyum padaku.
Bukan… Nisya bukan tersenyum padaku! Ia tersenyum pada
Vega yang berjalan di samping Randu. Lalu aku… Randu tak peduli padaku lagi.
Mungkin ia telah melupakanku dan tak mau mengacuhkanku, sebagai balasan karena
aku juga pernah acuh tak acuh terhadapnya. Aku menyudut, berdiri di sudut dekat
pintu tata usaha.
“Ve, mau legalisir ijazah juga nih…” Nisya mengantri di
bagian paling belakang.
“Sya, tolong jangan panggil Vega dengan cara seperti itu!
Lo cuma akan ngingetin gue sama Venus. Gue lagi berusaha ngelupain dia.”
Astaga, Randu ingin melupakanku. Menghapus semua kenangan
indah yang pernah kami lalui bersama. Apa tindakanku saat ujian sudah sangat keterlaluan
hingga ia berubah seperti itu? Randu, kumohon jangan lupakan aku. Aku sayang
kamu. Randu, maafkan aku…
Kulihat Vega meletakkan telunjuknya ke depan bibir. Ia
mencoba menenangkan mereka. Namun Nisya dan Randu terlalu egois mengikuti
perasaan masing-masing.
“Selama ini, lo nggak pernah lihat gue. Yang ada di
pikiran lo cuma Venus, Venus, dan Venus…” Tangis Nisya pecah, beberapa siswa
yang antri di depan mereka memperhatikannya.
“Sya, gue harap lo ngerti perasaan gue. Dan gue harap lo
nggak perlu ngejar cinta gue lagi. Hati gue cuma buat Venus.”
“Vega, tolong bantu urusin legalisir ijazah gue, ya!”
Vega yang juga sahabat baikku menganggukkan kepala.
Nisya meraih tangan Randu, “Mau kemana?” katanya sambil
sesenggukkan.
“Sya, lepasin gue.”
Randu berlari menuju pohon ceiba paling tengah di taman
sekolah. Meninggalkan Nisya yang berteriak memanggil namanya dan Vega yang
menenangkan Nisya dengan sabar. Dan tentu saja aku mengikutinya dari belakang.
Randu memandangi pohon itu penuh penyesalan. Entahlah, padahal
ia tak melakukan kesalahan apa pun. Malahan aku bangga padanya. Tapi mengapa ia
semenyesal itu? Aku tahu dari matanya yang teduh. Dia kecewa pada dirinya
sendiri.
Randu melanjutkan ukiran namanya yang belum sempat
diselesaikan. Ya, aku ingat waktu itu bel keburu berbunyi dan baru namaku yang
terukir pada batang pohon ceiba.
“Ve, maafin gue selama ini,” lirihnya sambil
mengusap-usap ukiran namanya yang telah ia selesaikan.
“Ve, gue sayang sama lo. Setiap gue mau pakai bocoran,
gue selalu ingat lo dan janji kita di sini. Gue nggak pakai bocoran itu sama
sekali. Tolong maafin gue, Ve. Jangan marah sama gue,” lanjutnya.
Kudekati dia dan kubisikkan tiga kata, “Aku bangga
padamu!” Randu tak merespon. Mungkin suaraku terlalu pelan. Kucoba sekali lagi,
“Randu, gue bangga sama lo. Maafin gue selama ini udah salah sangka. Gue juga
sayang sama lo.” Tetap saja tak ada respon darinya.
Aku mulai gelisah. Randu,
aku berada di sini, begitu dekat denganmu. Kenapa kamu nggak mendengar suaraku?
Kataku dalam hati.
Kucoba menyentuh pundak dan menggenggam tangannya. Ya
Tuhan, aku tak merasakannya. Kulitku tak mampu meraba apa pun. Kuselidiki
setiap bagian tubuhku. Ya Tuhanku…
Pohon ceiba di hadapanku hanya bisa terdiam. Bunga
putihnya masih berjatuhan di rerumputan. Batangnya masih berdiri kokoh. Samar
kulihat ada ukiran namaku dan namanya di batangnya. Aku tak mampu menahan perih
yang mendalam. Ketika kusadari bila aku telah tiada. Hancur bersama lambaian
dedaunan hijau dan bunga putih yang berguguran tertiup angin.
“Ve, semoga tenang di alam sana…” Kalimat terakhir yang
kudengar darinya ikut terbang terbawa angin.
***