Ambassador Bridge

Ambassador Bridge oleh Naminist Popy 
Cerpen ini dimuat di Majalah STORY No.30 Tahun 2012

@NaministPopy


“Seandainya usia kita berkebalikan, apa yang akan terjadi, Kak?” Suara lirih Astra memecah hening suasana malam. Matanya beradu dengan seorang gadis yang tak pernah mau dianggapnya sebagai kakak.
Jantung Nada berdetak lebih cepat dari biasanya. Nada menundukkan kepala. Ia tak sanggup lagi menyembunyikan rasa yang terpendam namun terpancar dari kedua matanya.
Beberapa menit berlalu, keduanya membisu dalam tanya yang tak terjawab. Nada memaksakan diri untuk tersenyum tipis. Mencoba menghangatkan ruang sempit yang mendingin. Setelah 30 detik, barulah mengalir kata-kata dari bibir mungilnya tanpa dirancang.
”Bila itu terjadi, mungkin Ambassador Bridge kita tidak dijaga sama sekali seperti Ambassador Bridge antara Detroit dan Windsor AS-Kanada.”
Entah apa yang membuat kata-kata itu mengalir deras; keluar dengan lancar tak terbata.
Satu menit berikutnya, Nada melanjutkan kemunafikannya dengan tegas, ”Bila itu terjadi, aku akan jatuh cinta pada cowok yang usianya lebih tua dariku minimal lima tahun!”

Astra menganggukkan kepala dan membalas kata-kata gadis di sampingnya sedatar mungkin. ”Ya, tentu saja. Bila itu terjadi, aku juga akan jatuh cinta pada cewek yang usianya lebih muda dariku minimal lima tahun.”
***
@NaministPopy


Sudah hampir dua tahun Nada mengajar les privat pelajaran eksak untuk seseorang yang sebenarnya sangat spesial di hatinya. Astra Dwi Anggoro, nama murid privat yang usianya lebih muda dua tahun darinya. Sejak kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, ia mengisi waktu kosongnya dengan mengajar les privat demi mencukupi kebutuhan hidupnya: membayar kos setiap bulan, makan tiga kali sehari, tugas kampus, serta kebutuhan sehari-hari lainnya.
”Mbak Nada, silahkan diminum. Ngomong-ngomong gimana perkembangan belajar Astra? Sebentar lagi udah mau SNMPTN, Mbak.” Sudah menjadi kebiasaan Mbak Astri, kakak Astra, menanyakan perkembangan belajar adiknya setiap memberikan honor mengajar pada Nada.
”Alhamdulillah, Mbak Astri. Setiap hari Astra semakin lancar dan teliti mengerjakan soal-soalnya,” jawab Nada jujur apa adanya.
”Makasih Mbak, kemarin nilai Ujian Nasional Astra sangat memuaskan. Ini berkat Mbak Nada juga.”
***
            Malam semakin larut, Nada belum mampu memejamkan mata. Rasanya, ia mampu terjaga hingga esok pagi. Ia ingin sekali masuk ke lorong waktu memperbaiki semuanya. Seandainya tadi ia mengundurkan diri, mungkin cinta yang menurutnya terlarang ini akan segera berakhir. Seandainya ia tak punya perasaan apa pun pada Astra, mungkin keresahan semacam ini tak akan pernah ada. Seandainya... Begitu banyak kata ‘seandainya’ merasuki pikirannya dan ia terlalu benci kata ’seandainya’. Perang batin antara kata ’seandainya’ dan kata-kata ‘ingin melihat Astra berhasil meraih cita-citanya’, bertarung tiada henti. Hingga bunyi SMS menghentikan kegundahan hatinya.
            Nad, besok malam ada waktu nggak? kita makan berdua, ya.
            Belum sempat Nada membalas SMS tersebut, nada dering dari handphone-nya sudah berbunyi.
***
            Phosphorus, bintang pagi yang indah. Wahai venus sang dewi cinta. Biarkan waktu memilihkan jantung hati untukku.
            Kebiasaan buruk Nada saat bimbang adalah menangis dan menghabiskan pulsa dengan mengirim SMS untuk dirinya sendiri.
            Hati Nada tak bisa mengelak saat lelaki tampan itu hadir dalam hidupnya. Sempurna: usianya satu tahun lebih tua darinya, kakak kelas di TGP UI, Ibunya setuju bila Nada berpacaran dengannya, pulang kampung bisa selalu ditemani karena masih satu kota. Intinya sangat sempurna untuk masuk kategori lelaki idaman yang memenuhi syarat daftar cinta Nada. Tapi, biar saja dewi cinta yang memilihkan kekasih terbaik untuk Nada.
***
            Hampir lima pekan Nada tidak mau tahu kabar Astra. Begitu pun Astra sepertinya tidak mau tahu kabar Nada. Nomor handphone Nada tidak berubah, begitu pun Astra, nomornya masih tetap sama. Keduanya telah berucap kata pisah sejak hari kedua SNMPTN.
            Tidak bisa dipungkiri Nada, sebenarnya dirinya belum mampu menepikan rasa yang masih menyelimuti hatinya. Rasa sayangnya pada Astra melebihi rasa sayangnya pada Mas Satria, seorang kakak kelas yang akhirnya ikhlas dipilih menjadi pacarnya untuk melupakan rasa cintanya pada Astra. Tepat setelah sore itu berlalu; sore yang menggaungkan kata-kata menyakitkan.
 Ambassador Bridge antara Detroit dan Windsor AS-Kanada tidak akan pernah muncul lagi di kehidupan kita. Sekarang hapuslah namaku dari hatimu, begitu pun akan kuhapus namamu dalam hatiku.” Diiringi air mata, Nada melanjutkan kata-kata yang mencabik-cabik hati murid privatnya. ”Tak perlu pedulikan lagi. Ambassador Bridge dijaga atau tidak dijaga sama sekali, yang jelas tidak akan pernah ada nama kita lagi di sana.” Nada meninggalkan Astra yang masih terpaku, berdiri kaku di lantai paling atas gedung sekolah tempat ia berjuang meraih cita-citanya.
***
@NaministPopy


Nada membolak-balik surat kabar pagi yang mengumumkan hasil SNMPTN. Ia mencari satu nama yang terdiri dari tiga kata. Mulutnya komat-kamit, ”Astra Dwi Anggoro, Astra Dwi Anggoro...” Maklum, Nada tidak mencatat nomor ujian mantan murid privatnya itu. Akhirnya Nada menemukan nama itu di tengah-tengah ribuan nama siswa lulusan SMA.
”Astra Dwi Anggoro, TGP UI...?!”
Tanpa sadar Nada mengeluarkan suara keras saat membacanya. Matanya hampir copot saat mencoba memastikan apa yang barusan ia lihat. Hatinya lega sekaligus terkejut. Ini artinya Nada bisa bertemu Astra setiap waktu? Astra akan jadi adik kelasnya? Sesuatu yang wajar bila nanti Astra meminjam buku atau minta diajari tugas-tugas kampus yang sulit. Nada tak habis pikir mengapa hal ini bisa terjadi. Senekad inikah anak itu mendekatinya? Hingga sengaja melakukan hal yang tak masuk akal. Nada teringat kata-kata Mbak Astri saat terakhir bertemu.
“Mbak Nada, terimakasih ya atas bimbingan dan kesabarannya selama ini. Mohon doanya, semoga Astra bisa masuk kedokteran UI.”
Sepenggal ucapan Astra pun terngiang seketika, “Kak Nada, apa salahnya dengan hubungan kita, toh usia kita cuma beda dua tahun? Kak, sekarang banyak yang pacaran padahal usia ceweknya jauh lebih tua. Bahkan ada yang sampai beda sepuluh tahun! Kak, setelah aku lulus dan jadi mahasiswa, aku nggak mau manggil kakak dengan Kak Nada, aku maunya manggil Nada!”
***
Kanada merupakan salah satu negara yang berbatasan dengan Amerika Serikat. Perbatasan Kanada - Amerika Serikat secara resmi dikenal sebagai perbatasan internasional yang merupakan perbatasan terpanjang di dunia dan tidak dijaga sama sekali.
Sebuah artikel yang pernah Nada baca sebelum akhirnya kata-kata menyakitkan itu keluar dengan lancar. Di malam itu, juga di sore itu. Ia tahu sikapnya pasti telah melukai hati Astra. Namun ia tak tahu harus bersikap bagaimana untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Ia tak mau mengecewakan orang tuanya di kampung. Ibunya yang memang sudah kenal dengan Mas Satria, menginginkan bila Nada berpacaran dengan Mas Satria saja.
***
Kini ada dua lelaki yang memaksa Nada untuk memilih. Saat ini pilihan matanya jatuh pada Mas Satria, tapi pilihan hatinya tetap jatuh pada Astra. Nada bisa saja membohongi keduanya, tapi ia tak bisa membohongi dirinya sendiri.
Dua pilihan itu terus menggerayangi pikirannya. Apa yang harus ia lakukan untuk menyudahi kegundahan hatinya? Setiap ingin mengambil satu keputusan selalu saja muncul dua pertanyaan yang baru, dari dua pertanyaan yang baru akan muncul dua pertanyaan baru selanjutnya dan begitu seterusnya. Seperti amuba yang membelah diri.
***
            Satu pekan setelah keterkejutannya pada pilihan Astra, Nada tidak menjumpai Mas Satria, juga tidak mendapati Astra yang kini satu fakultas serta satu jurusan dengannya. Ia sudah menetapkan pilihannya: ”Jadian sama Astra dan menyembunyikan hal ini dari Mas Satria. Kalau nggak ketahuan bisa membahagiakan semuanya: dirinya, Ibunya, juga Mas Satria.”
Nada mencoba mencari keberadaan mahasiswa baru yang amat ia kenal, Astra Dwi Anggoro. Nada tidak menemukannya di hari pertama masuk kuliah semester ganjil. Kantin, saung, ruang kelas, lab komputer, lab kimia, sampai ke ruang jurusan pun, ia tidak menemukan pujaan hatinya.
Nada melangkah gontai. Misinya hari ini tidak berhasil. Pertanyaan muncul lagi dalam benaknya, ”Sebenarnya Astra serius nggak sih ngejar aku, kenapa hingga detik ini dia belum menemui aku? Seharusnya dia tahu keberadaan aku!”
Hari kedua hingga hari keempat, Nada tidak menemukan Astra di kampusnya. Sampai pada hari kelima saat solat Jumat, ia melihat Astra menitipkan ranselnya pada seorang gadis berkuncir dua. Nada menghampirinya, menjabat tangan gadis itu, dan memperkenalkan dirinya.
”Hai, namaku Nada. Kamu anak baru, ya? TGP UI juga? Satu kelas dengan Astra?” Gadis itu menganggukkan kepala seraya menjabat tangan Nada.
”Iya, Saya Lindita. Kak Nada, guru les privatnya Astra, ya?”
”Lho kok kamu tahu?”
”Astra sering cerita tentang Kak Nada. Pokoknya Astra kagum banget sama kakak.”
Mendengar kalimat terakhir dari Lindita, hati Nada langsung berbunga-bunga. Warna merah jambu yang selama ini tertutup warna kelabu mulai membingkai lagi hatinya. Ia merasa sebentar lagi misinya akan berhasil.
Tak lama kemudian Astra keluar dari masjid dan menghampirinya.
”Hai Nad, pakabar?”
Nada mati gaya saat Astra memanggilnya tanpa kata ’Kak’ seperti janjinya dua bulan yang lalu.
”Baik, kamu?”
”Baik juga. Oh ya Nad, kenalin ini Lindita. Kami baru jadian dua minggu yang lalu. Atau barusan kalian sudah saling kenalan, ya?”
Nada dan Lindita menganggukkan kepala hampir bersamaan.
Dalam sekejap, langit siang yang cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung dalam penglihatan Nada.
”Lindita, kami baru jadian dua minggu yang lalu...”
Bunga-bunga yang barusan bermekaran tiba-tiba layu seketika. Warna merah jambu yang barusan membingkai hatinya berubah jadi kelabu.
 Ambassador Bridge antara Detroit dan Windsor AS-Kanada tidak akan pernah muncul lagi di kehidupan kita. Sekarang hapuslah namaku dari hatimu, begitu pun akan kuhapus namamu dalam hatiku. Tak perlu pedulikan lagi. Ambassador Bridge dijaga atau tidak dijaga sama sekali, yang jelas tidak akan pernah ada nama kita lagi di sana.”
***
@NaministPopy
Terima kasih kepada RAN yang bersedia mengomentari cerpen saya.

Asta bilang, "Cerpennya asik, kebetulan aku orang yang hobi baca cerpen. Alur ceritanya juga ringan, bisa diterima dan gampang dicerna pembaca. Aku suka dengan cerpen ini, bahasa sastranya ringan. Mungkin bisa dipakai menjadi inspirasi untuk lagu. Hehehe..."
Wah, saya tunggu lagu tentang Astra dan Nada ya.

Nino bilang, "Ceritanya memang asik, seputar cinta yang terlarang, antara guru privat dan anak didiknya, sayang endingnya nggak happy. Padahal menurutku nggak ada salahnya kok kalau akhirnya mereka happy ending, toh usia mereka hanya terpaut dua tahun. Bahasanya ringan, cocok banget dibaca remaja."
Baiklah, lain kali saya menulis cerpen yang happy ending.