Dongeng Hijaunya Bambu oleh Naminist Popy
Cerpen ini dimuat di Majalah GADIS No.15 Tahun 2011
![]() |
@NaministPopy |
Ibaratnya
sebuah dongeng, cerita akan diakhiri dengan happy
ending. Bukankah itu yang selalu diharapkan semua gadis di seluruh dunia?
Puteri Cinderella menikah dengan pangeran dan hidup bahagia selamanya, begitu
pun dengan Puteri Salju, Putri Tidur, Puteri Duyung, dan puteri lainnya dari
pelbagai penjuru dunia. Namun tidak buat Puteri Kaguya yang harus bersedih hati
di akhir cerita karena terpaksa meninggalkan kedua orangtua yang telah
mengasuhnya sejak bayi, kakek dan nenek yang menemukannya bersinar dalam bambu
pada bulan purnama.
Selalu saja buku cerita dongeng Puteri Kaguya yang
berakhir dalam genggaman sebelum larut dalam tidur. Buku yang sudah lusuh
tertindih tubuh gadis yang minggu depan usianya genap 16 tahun. Namanya
Lindita, gadis manis yang selalu tampak ceria dan penuh semangat.
“Lind, minggu depan ulang tahunmu! Apa mau dirayakan
bersama teman-teman sekolahmu?” tanya Tante Amara sore tadi.
“Nggak deh, Tante. Pas ulang tahun ke-17 aja. Lagi pula
minggu depan Lindi mau ke Solo, Tante,” jawab Lindita penuh semangat.
Ya, minggu depan Lindita akan ke Solo sendirian. Ia tak mau
meminta Tante Amara atau Om Bara untuk mengantarnya. Meski sebenarnya Tante
Amara dan Om Bara tak akan rela melepas Lindita pergi jauh sendirian hingga
ratusan bahkan ribuan kilometer. Tapi, Lindita bertekad untuk belajar mandiri.
Berjuang sendiri menemukan cinta pertamanya di kota kelahirannya.
***
![]() |
@NaministPopy |
“Astra, maafkan aku... aku
akan ikut Tante Amara dan Om Bara untuk tinggal di Jakarta.” Kalimat terakhir
yang Lindita ucapkan sebelum meninggalkan Astra yang termenung di bangku kayu
hutan bambu dekat rumah neneknya. Hijaunya bambu menghiasi sore kelabu yang
memisahkan dua bocah cilik yang telah bersahabat sejak dalam kandungan
ibundanya masing-masing. Ya, sama seperti mereka, kedua orangtua mereka pun
sahabat karib.
Sejak saat itu mereka tak pernah bertemu lagi. Lindita
hanya bisa membayangkan wajah Astra lewat mimpi-mimpi indah dalam tidurnya.
Terkadang ia pun tetap terjaga sepanjang malam apabila rindunya membuncah dan
bayangan kenangan kecil mereka berkelebatan.
Bangun kesiangan menjadi suatu kebiasaan sepanjang hari.
Terlambat ke sekolah dengan alasan yang sama tak pernah diperbaiki.
Sampai-sampai Om Bara yang setia mengantar Lindita ke sekolah, bosan
menasehatinya. Terlebih hari libur seperti hari ini. Minggu yang cerah ini
Lindita bangun pukul 12 siang. Sungguh memprihatinkan!
Teng... teng... teng...
Jam
dinding di kamarnya berdentang 12 kali.
“Gaunku? Gaunku sudah berubah. Mana kereta kudanya,
mana... ada hijaunya bambu!” Lindita bersembunyi di balik rimbunan pohon bambu
depan istana. Sebelah sepatunya tertinggal di tangga. Seorang pangeran yang
sangat mirip wajah cinta pertamanya muncul di hadapannya. Tapi, pangeran itu
tak menemukan Lindita.
Seorang gadis cantik menaiki satu demi satu anak tangga.
Sebelah kakinya tak bersepatu kaca, sebelahnya lagi masih bertahan sepatu kaca.
Diperhatikannya sepatu kaca yang digenggam erat pangeran, ukurannya sangat
kecil. Gadis itu memastikan bila sepatu itu miliknya yang tertinggal saat
melarikan diri dari pesta dansa. Sepatunya yang sebelah kiri.
“Itu milikku!” seru sang gadis.
Pangeran seakan tak mau menyerahkan sepatu kaca milik
gadis itu.
“Bukan, ini bukan milikmu,” kilah pangeran.
“Itu milikku, tolong kembalikan!” pinta sang gadis.
“Ini milik gadis yang tadi berdansa denganku...” bantah
pangeran, belum tahu bila Lindita bersembunyi di balik rimbunan pohon bambu dan
menyaksikan semuanya.
Lindita
merenung sejenak. Apakah dirinya yang tadi berdansa dengan pangeran? Apa sepatu
yang dipegang pangeran adalah miliknya? Lindita seolah merasakan pening di
kepalanya, seperti amnesia sebagian.
“Percayalah, aku gadis yang pangeran maksud!” Gadis itu
tak juga menyerah demi mendapatkan sepatunya kembali. Dan mungkin juga ingin
merebut cinta pangeran.
Tubuh Lindita seperti diguncang-guncang cukup keras.
Lindita tersadar dari mimpinya. Ia mengucek matanya, memastikan penglihatannya
baik-bak saja.
“Tante, apa yang terjadi?” Lindita masih setengah sadar.
“Sarapannya sudah berubah jadi makan siang. Ayo kita
makan sama-sama. Setelah makan, antarkan Tante ke toko buku ya.” Mendengar
makan siang, Lindita bergegas bangkit menuju ruang makan. Perutnya sudah
keroncongan.
Itulah Tante Amara yang selalu perhatian pada Lindita.
Mengingat kebaikan Tante Amara dan Om Bara, Lindita merasa sangat bersyukur kepada
Tuhan. Hidupnya sempurna walau tanpa ayah dan ibu kandungnya yang meninggal
dalam kecelakaan motor sewindu yang lalu.
Dalam
perjalanan menuju toko buku Lindita mencoba menerka maksud mimpinya tadi malam.
“Lind, ada apa? Kamu melamun ya? Kalau ada masalah cerita
dong sama Tante,” pinta Tante Amara tulus.
“Nggak ada apa-apa kok, Tante. Pemandangannya indah,
bikin Lindi betah menatapnya berlama-lama.”
Tante Amara hanya bisa memaklumi keponakannya yang lebih
senang memendam apa pun seorang diri. Sifatnya yang tertutup diturunkan dari
kakaknya yang telah meninggal. Lindi
pasti bisa mengatasi masalahnya sendiri, Tante Amara membatin.
Lindita paling senang menghampiri rak bertuliskan “cerita
anak” yang tersusun rapi dalam rak kayu buku-buku dongeng puteri-puteri dari
seluruh dunia. Tak pernah bosan meski koleksinya sudah melampaui batas. Ah, ada
dongeng terbaru berjudul “Rigel dan Betelgeuse”. Saat jemari lentiknya hendak
menyambar buku itu, jemari lain yang lebih cekatan berhasil merebutnya. Lindita
tercenung.
Lelaki yang ditafsirnya seumuran dengannya, tersenyum
tipis, memberikan buku itu pada Lindita. Lelaki itu pun mengambil buku yang
sama setelah Lindita menerima buku dari tangannya. Itu buku baru dan stoknya
masih banyak.
“Kamu suka dongeng juga?” tanya Lindita penasaran.
“Begitulah,” jawab lelaki itu singkat.
Lindita menimbang-nimbang antara membeli buku dongeng
tersebut dengan buku yang lain. Tak disangka lelaki itu memberikan pendapatnya
tentang buku dongeng itu, sebelum Lindita berubah pikiran.
“Buku dongeng ini menceritakan seorang Puteri Rigel yang
rela menuju bumi demi mencari kekasihnya yang bernama Betelgeuse atau Pangeran
Betel. Pangeran Betel dihukum kerajaan luar angkasa karena telah melakukan
suatu kesalahan. Bertahun-tahun pencarian itu tak memberikan tanda-tanda di
mana keberadaan Pangeran Betel. Namun, Puteri Rigel tak pernah menyerah sedikit
pun hingga akhirnya mereka dipertemukan Tuhan di tengah hijaunya bambu,” jelas
lelaki itu tanpa diminta.
“Oh, ya?! Kamu sudah membacanya, ya?” tanya Lindita
bersemangat.
“Belum. Tapi, temanku yang menulis buku ini
menceritakannya padaku dan aku tertarik untuk membelinya.”
“Kamu kenal sama penulisnya, ya?”
Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya. “Anggoro,”
ujarnya.
Lindita
menyambutnya dengan senang hati. “Lindita,” balasnya seraya menjabat tangan
Anggoro.
Malam ini Lindita tak bisa tidur. Diliriknya nama dalam
buku dongengnya. Astra Dwi Anggoro. Ya
Tuhan... apa benar dia sahabat kecilku? Dan seorang lelaki yang baru kukenal
tadi sore di toko buku itu kan bernama “Anggoro”? Apa mereka adalah orang yang
sama? Lindita membatin.
Lindita menyesali dan menyalahkan dirinya yang lupa
meminta nomor handphone Anggoro. Ia
masih belum percaya dengan pertemuan singkat tadi sore. Benarkah lelaki itu
sahabat kecilnya, cinta pertamanya yang takkan pernah dilupakannya? Bila benar
demikian, sekarang sahabatnya telah jadi orang terkenal, tampan, dan pastinya
disukai banyak gadis seumurannya. Ah, Lindita masih tidak percaya dengan
kejadian yang baru dialaminya.
Tak kehabisan akal, Lindita langsung mencari identitas
penulis buku dongeng yang baru dibelinya dalam kolom search engine Google. Belasan artikel keluar pada halaman pertama.
Lindita memilih artikel paling atas, di-klik-nya,
lalu dibacanya artikel itu dengan seksama. Ia menajamkan penglihatannya agar
tak satu pun huruf yang tertinggal saat merangkainya jadi sebuah kata, kemudian
kalimat yang mengandung arti tertentu.
Lindita membaca keras-keras pada bagian kalimat yang
dianggapnya penting: Pada liburan sekolah
tahun ini, rencananya Astra Dwi Anggoro yang biasa disapa Astra akan berkunjung
ke kota asalnya di Solo. Bedah buku dongeng terbarunya yang mengisahkan
perjalanan Puteri Rigel dalam menemukan Pangeran Betel akan dikupas tuntas di
salah satu toko buku terbesar kota Solo.
***
![]() |
@NaministPopy |
“Om Bara, Tante Amara... Lindi
berangkat dulu, ya. Doakan Lindi selamat sampai tujuan...” pamit Lindita seraya
mencium tangan Tante Amara dan Om Bara. Ia bergegas naik kereta senja utama
yang sudah berhenti semenit yang lalu.
“Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa hubungi Tante bila
sudah sampai di rumah nenek,” pesan Tante Amara yang sebenarnya tidak tenang
melepas kepergian Lindita yang hanya sementara. Ini perjalanan terjauh Lindita
yang dilaluinya sendiri, tanpa Tante Amara atau Om Bara. Biasanya bila mau
pergi kemana-mana mereka menemani keponakan kesayangannya yang sudah dianggap
sebagai anaknya sendiri, karena mereka belum juga dikaruniai seorang anak sejak
menikah tiga belas tahun yang lalu.
Kereta senja perlahan bergerak meninggalkan lambaian
tangan Tante Amara dan Om Bara. Lindita membalas lambaian itu sambil mengucap
rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan pengganti orangtuanya yang telah
tiada dengan om dan tante yang menyayanginya sepenuh hati.
Seorang lelaki tergesa-gesa menghampiri tempat duduknya
sembari menaruh ransel besarnya di bagian atas jendela. Seketika itu pula
Lindita menoleh dan terkejut.
“Anggoro!” spontan Lindita menjerit riang.
“Lindita, kan? Yang sebulan lalu bertemu di toko buku,”
balas lelaki itu datar.
Senyum Lindita mengembang penuh kemenangan. Selama
berjam-jam ia akan berbincang banyak hal dengan lelaki ini. Lelaki yang katanya
mengenal penulis buku dongeng yang kini selalu ada digenggaman tangannya
sebelum tidur. Menggantikan dongeng Puteri Kaguya yang selalu membuatnya bangun
kesiangan.
“Aku sangat suka buku dongeng yang ditulis temanmu itu.
Berkat buku itu, aku nggak bangun kesiangan lagi!” jelas Lindita bersemangat.
“Hah, apa dampaknya sehebat itu?”
“Ya, begitulah! Makanya aku mau bertemu penulisnya di
Solo dan mengucapkan banyak terimakasih kepadanya.”
Sekilas senyum mengembang di bibir Anggoro. Lindita tak
menyadarinya karena sibuk memandangi lukisan malam dari balik kaca jendela
kereta.
“Kamu mengenal penulis itu, kan? Pertemukan aku dengan
dia!” ujar Lindita polos tanpa menatap lawan bicaranya.
Tak ada jawaban dari Anggoro. Saat Lindita menoleh, ia
mendapati Anggoro telah tertidur pulas. Sial, kini ia sendirian lagi.
Kereta senja utama Jakarta – Solo telah tiba di stasiun
akhir. Lindita membangunkan Anggoro yang masih tertidur pulas. Mungkin saja
lelaki ini kelelahan sampai-sampai waktu malamnya dihabiskan untuk memejamkan
mata tanpa menikmati pemandangan malam dipenuhi kerlipan bintang-bintang. Tidak
seperti Lindita yang terjaga sepanjang malam. Lindita mengguncang-guncangkan
bahu Anggoro agar ia segera bangun dan bergegas meninggalkan kereta.
“Hah, sudah sampai ya? Maaf, semalam aku ngantuk sekali,”
ujar Anggoro seraya membetulkan posisi ranselnya.
“Kamu mau kemana setelah ini?” tanya Lindita setelah
mereka turun dari kereta.
“Ke hutan bambu,” jawab Anggoro sambil melirik genit.
“Hutan bambu?!”
“Ya, tempat kita bermain drama dongeng Puteri Kaguya
waktu kecil dulu!”
“Jadi selama ini, kamu sudah tahu bila aku... Lindita
sahabat kecilmu itu ya?! Ah, Astra... kamu mengerjaiku habis-habisan.”
“Aku selalu membaca wall facebook-mu
hingga tahu bangku kereta yang akan kau tumpangi.”
“Tapi kamu kan lelaki sombong yang belum meng-confirm pertemanan di facebook. Padahal sudah ku-add sebulan yang lalu.”
“Salah sendiri kenapa wall
dan profil facebook-mu dibiarkan
terbuka bebas, sekalipun pada orang yang belum kau kenal!”
Dengan becak mereka menuju Desa Kebak Kramat, desa
kelahiran mereka. Tempat di mana kenangan hijaunya bambu telah memisahkan
sekaligus menyatukan mereka kembali. Sepanjang perjalanan mereka menyanyikan
lagu-lagu masa kecil. Sungguh seperti kembali ke masa lalu yang sangat mereka
rindukan. Masa kanak-kanak yang selalu indah untuk dikenang. Yang terlalu manis
untuk dilupakan. Yang terlalu sayang untuk dibuang, bahkan dianggap tak pernah
ada.
***