Naminara


Naminara oleh Naminist Popy 
Cerpen ini dimuat di Majalah GADIS No.27 Tahun 2011

@NaministPopy


Angin berhembus kencang siang ini. Dedaunan kering berjatuhan dari ranting pepohonan besar di sekelilingnya. Sepasang kekasih tampak riang melintasi jalanan yang rindang. Si lelaki menggenggam erat tangan gadisnya dengan penuh cinta. Lalu mereka duduk di bangku taman yang berdebu. Lelaki itu mengecup kening gadisnya dengan lembut. Perasaan sayang yang sengaja dipamerkan itu tertangkap jelas olehku. Seolah dunia hanya milik mereka berdua. Dan aku yang mengamati mereka dari jarak yang cukup dekat dianggap tak punya mata sama sekali. Kuperhatikan mereka lagi dan lagi... dan aku iri!
            Aku menoleh ke arah yang lain. Kali ini kulihat seorang lelaki sedang menunggu gadisnya di bangku taman. Lelaki itu mencabuti kelopak mawar putih satu persatu dan melepaskannya ke udara. Seolah menggantungkan kedatangan gadisnya pada setiap helaian putih yang berguguran. Sangat lama, hingga setangkai mawar putih gundul tanpa mahkota. Ia lalu mengganti setangkai mawar putih yang lain dan begitu seterusnya. Beruntung sekali lelaki itu, gadisnya datang pada kelopak terakhir, entah pada tangkai mawar yang keberapa. Gadisnya menangis dan mengucapkan kata-kata dalam bahasa Korea yang tak bisa kudengar dengan jelas. Mungkin semacam permohonan maaf atas keterlambatannya. Lelaki itu memeluk gadisnya cukup erat. Mencurahkan segenap kerinduan yang terpendam. Seakan tak mau berpisah dengan gadisnya lagi, meskipun hanya sekejap. Lelaki itu tersenyum dan memberikan seikat mawar yang sudah gundul. Ah, membuatku terharu. Walau terkesan konyol, lelaki itu tetap romantis di mataku.

Dan kini aku kembali menatap ke depan. Tak ada sepasang kekasih yang bermesraan lagi. Kecuali Ayah yang sedang memandangiku di bangku taman. Kutatap wajah Ayah yang mulai menua. Guratan kesedihan masih tertinggal di sana. Ayah melukis foto kami dengan sungguh-sungguh. Sesekali memandang ke bangku taman, di mana foto itu pernah diambil. Sebenarnya bisa saja Ayah melukis foto itu di rumah, tapi Ayah bersikeras untuk melukisnya di sini. Katanya agar lukisannya benar-benar hidup, sekaligus mengenang saat-saat indah bersama Bunda di tempat ini. Ayah pasti sangat merindukan Bunda. Seperti aku yang masih saja mengharapkan Bunda kembali ke dunia. Selamanya menghabiskan waktu di pulau yang penuh kenangan.           


@NaministPopy


Pernahkan kalian bayangkan bisa menghabiskan liburan sekolah di Naminara? Naminara adalah sebuah pulau kecil yang sangat indah dekat Seoul, Korea Selatan. Pulau cinta bagi penduduk Korea dan sekitarnya. Pun turis asing yang datang dari berbagai penjuru dunia. Banyak sekali pasangan muda-mudi yang menghabiskan waktu di sana untuk berkasih-kasihan. Seminggu ini aku melalui hari-hariku di sana. Namun bukan bersama pasangan seperti yang kuceritakan barusan. Aku bersama Ayah melukis pemandangan indah musim panas di Naminara, pun melukis foto kami yang pernah diambil empat tahun yang lalu.
“Ayah, kapan aku diizinin pacaran kayak mereka?” tanyaku lirih. Meskipun orang-orang Korea tidak mengerti bahasa Indonesia, tetap saja aku malu bila mereka mendengar ucapanku.
“Apa buah hati Ayah yang cantik ini sedang jatuh cinta?” Ayah malah balik bertanya. Sungguh membuatku jengkel.
“Tidak juga... Tapi aku mau suatu hari nanti bisa berpacaran di tempat ini!”
“Baiklah, akan Ayah izinkan. Asalkan Ayah ikut mengawasi kalian dari jauh.”
“Ah, itu namanya mengganggu!”
“Hanya khawatir saja. Na itu putri Ayah satu-satunya yang sangat Ayah sayangi...”
“Apa Bunda cinta pertama Ayah?”
“Ya, Bunda cinta pertama sekaligus cinta terakhir Ayah!”
Entah mengapa lagi-lagi aku teringat Bunda yang telah tiada. Sudah bertahun-tahun Bunda pergi. Namun aku belum bisa melupakan kesedihanku saat di pemakaman. Pun kesedihan Ayah yang tak mau beranjak meninggalkan pusara Bunda, meskipun orang-orang sudah pergi berjam-jam yang lalu. Hanya aku dan Ayah yang masih di sana hingga senja menjelang. Sungguh menyakitkan kehilangan seseorang yang paling kita cintai seumur hidup.

@NaministPopy


Aku pun terbayang wajah Ayah yang sangat terpukul ketika mendengar vonis dokter tentang hidup Bunda yang takkan lama lagi. Kanker serviks telah merenggut nyawa bunda. Nyawa hidup Ayah yang bersatu dan menjadikanku ada. Namun kematian bukanlah akhir dari kisah cinta mereka. Hingga detik ini Ayah masih mencintai Bunda. Tak mau menggantikannya dengan wanita lain mana pun di dunia ini. Karena Bunda adalah cinta pertama dan terakhir Ayah. Selamanya.
            Empat tahun yang lalu, di waktu yang sama seperti siang ini, Ayah mengajak kami sekeluarga ke Naminara. Memintaku membantu mengabadikan kemesraan Ayah dan Bunda yang tiada abadi. Siang itu seperti bulan madu kedua bagi Ayah dan Bunda. Dan aku bertugas sebagai seksi dokumentasi yang siap siaga dengan kamera digitalku. Sebentar lagi Bunda akan pergi untuk selamanya. Kami ingin membuat kenangan manis yang tak akan pernah terlupakan. Cinta.
            Sebagai anak semata wayang di keluarga kecil kami, aku sangat dimanja dan disayang. Ayahku yang seorang pelukis dan bundaku yang seorang penulis sering menjadikan aku sebagai inspirasi karya mereka. Katanya aku adalah harta paling berharga bagi mereka. Katanya lagi, aku adalah nyawa hidup mereka. Tak ada aku berarti hilang segala mimpi dan harapan. Hidupku benar-benar sempurna. Tak ada celah sedikit pun yang membuahkan kekecewaan. Namun tidak untuk saat ini, kesedihan akan mengantarkanku menuju kesakitan yang berlarut-larut. Bagiku, Bunda adalah segalanya. Dan bagiku, Tuhan tak adil bila mengambilnya secepat ini. Di usia remajaku yang seharusnya dipenuhi warna-warni pelangi. Bukan warna hitam yang tak akan lama lagi.
            “Ayah, senyumnya dong... Bunda, rambutya digerai saja, biar kelihatan lebih anggun.” Aku menjadi pengarah gaya untuk foto-foto mereka. Bunda melepas kunciran rambutnya. Angin meniup setiap helai rambutnya hingga menyentuh wajah Ayah. Bunda buru-buru merapikan rambutnya dengan jemarinya yang lentik. Ayah menahannya, lalu membelainya lembut. Dan kali ini, aku mengabadikan adegan demi adegan itu dengan pedih. Ini tak akan lama lagi. Perih.
            “Sekarang gantian. Biar Ayah yang mengambil gambarnya.” Ayah menggantikan posisiku sebagai fotografer dadakan.
            Aku dan Bunda mulai bergaya ala foto model mamamia. Menampilkan kekompakkan antara anak dan mamanya hingga semua mata menjadi iri bila melihatnya. Aku sayang Bunda. Selamanya. Walaupun Bunda akan segera menuju surga. Meninggalkan aku. Meninggalkan kami di dunia.
            Air mataku menggenang, lalu meleleh membasahi pipiku. Saat cairan bening itu mulai menganak sungai, rintikan hujan mulai membasahi wajahku. Kudongakkan kepala. Tangisan yang pecah tersamarkan seketika. Aku tak mau menangis di hadapan Bunda. Pun di depan Ayah yang berusaha tetap tegar. Aku tak mau! Biar saja hujan menyamarkan semuanya sampai aku kembali tegar.
            Ayah menarik lengan Bunda, buru-buru meninggalkan taman ini. Aku bergegas mengikuti jejaknya dari belakang. Tanpa payung, tanpa pelindung. Kami setengah berlari mencari tempat untuk berteduh. Naminara jadi saksi kebersamaan kami bertiga. Saat cerah, saat hujan. Kebersamaan yang takkan lama lagi akan berakhir. Seiring kepergian mentari yang tertutup awan hitam. Kelam.
            Kami pun kembali ke Indonesia. Ketika itu liburan sekolah telah usai. Tahun ajaran baru segera dimulai. Aku akan disibuki lagi dengan berbagai aktivitas sebagai seorang pelajar yang menuntut ilmu di sekolah, di tempat kursus, di masyarakat, dan tentunya di rumah. Rumah adalah tempat menuntut ilmu paling menyenangkan sepanjang sejarah. Di rumah aku bisa belajar menulis bersama Bunda dan melukis bersama Ayah. Proyek terakhir sebelum Bunda meninggal adalah menciptakan karya yang sebenarnya sengaja dibuat untuk mengenang Bunda.
            Dengan penuh semangat aku mengedit foto-foto kami di Naminara. Saat aku memeluk Bunda, saat aku dan Bunda menjulurkan lidah dan bermuka jelek di depan kamera, saat Ayah dan Bunda berpose marah-marahan, saat Ayah mencium kening Bunda, saat mereka bermesraan, saat... Sayangnya hanya satu foto kami yang bertiga. Waktu itu kami meminta tolong orang Korea untuk mengambil gambarnya. Dan sayangnya cuma satu. Aku akan menjadikan foto itu sebagai cover novel terbaru Bunda yang digarap bersama Ayah.
            “Bunda, bagus tidak bila cover novelnya yang ini saja?”
            Bunda menajamkan penglihatannya. Ia menatap foto itu sangat lama. Bahkan lama sekali hingga aku lelah menunggu persetujuannya. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Tapi tak sampai meleleh dan jatuh ke pipinya yang ranum meskipun sudah tak muda lagi. Aku terdiam, masih menunggu persetujuan dari Bunda.
            “Hanya foto itu yang bertiga. Gambar lainnya kurang cocok dijadikan cover. Lagi pula foto itu diambil di depan tulisan ‘Welcome to Nami Island’, jadi cocok banget kalau jadi cover novel Bunda,” tambahku, memecah keheningan. Membuat Bunda tersadar dari lamunan yang melarutkannya pada kenangan-kenangan indah di Naminara.
            “Okay... ambil yang ini saja sebagai cover.” Bunda tersenyum dan kembali melanjutkan mengetik di laptopnya.
            Kini aku yang memandangi foto itu lekat-lekat dari laptopku. Ada aku di sebelah kanan dan Ayah di sebelah kiri. Bunda berdiri di tengah. Apa benar kata orang bila berfoto jangan bertiga? Orang yang di tengah akan kena bencana atau mati lebih cepat dibanding yang lainnya. Ah, kutepis mitos yang tak dapat dipercayai itu. Namun semuanya memang benar dan segera menjadi kenyataan.
            Semua itu sudah berlalu. Dunia kembali terang karena aku menyadari bila masih ada Ayah di dekatku. Apa yang harus kutakutkan? Tidak ada! Aku takkan kehilangan Ayah dan Bunda karena mereka selalu berada di benakku. Setahun sudah siang itu tertinggal. Berganti malam yang begitu sunyi. Aku bergeming menatap langit-langit kamar.
***

@NaministPopy


Malam ini, aku merayakan ulang tahun pernikahan Ayah dan Bunda seorang diri. Kupandangi novel Bunda yang tergeletak di meja belajar. Foto itu telah berubah jadi lukisan dalam cover novel Bunda yang berjudul ‘Naminara’. Ayah yang menyulapnya agar kelihatan lebih berkelas. Aku selalu menyukai lukisan Ayah. Ayah memang sangat berbakat sebagai seorang pelukis. Karya-karyanya yang bergaya realis sangat mengesankan.
            Novel itu adalah kenangan kami bertiga. Perjalanan singkat yang sangat mengesankan. Naminara. Di sana ada cerita tentang Ayah, cerita tentang Bunda, pun cerita tentang diriku. Teringat lagi percakapan terakhir kami di hari ulang tahunku yang terakhir bersama Bunda.
            “Na, kamu mau tahu nggak kenapa Bunda sama Ayah memberimu nama ‘Naminara’?” tanya bunda pagi itu. Kugelengkan kepalaku dan kutunggu ucapan Bunda selanjutnya.
            “Naminara adalah nama tempat yang paling bersejarah bagi Bunda sama Ayah.”
            “Tempat kencan pertama Bunda, ya?”
            “Bukan. Ayah bukan cinta pertama Bunda. Jadi bukan di sana tempat kencan pertama Bunda.”
            “Lalu...”
            “Bunda baru putus dengan kekasih Bunda saat berlibur ke Naminara. Tak disangka Bunda bertemu Ayah yang dulunya teman sekolah Bunda. Ternyata Ayah kuliah di Korea. Kami bertukaran nomor handphone dan mulai menjalin kasih. Tak disangka bila Bunda adalah cinta pertama Ayah waktu di sekolah dulu.”
            Ya, tentu saja Naminara adalah tempat paling berkesan untuk Ayah dan Bunda. Aku senang mendengar nama itu, aku juga senang membaca nama itu. Nama yang punya banyak makna untuk kami bertiga.
            Kubuka lembar demi lembar novel setebal 636 halaman. Ada lukisan di setiap bab-nya. Sebuah ilustrasi yang menggambarkan inti cerita yang ditulis Bunda. Aku tersentak ketika sampai di halaman 623. Kubaca tulisan itu pelan-pelan.
            Grey menerima Kimmi apa adanya. Meskipun bayi yang dikandung dalam rahim gadis itu bukanlah anaknya, namun ia berjanji akan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Grey mau menikahi gadis itu sebelum perutnya semakin membuncit dan menjadi aib keluarga bila sampai terlahir tanpa seorang ayah.
            Tetes demi tetes air mata membasahi halaman itu. Tulisan itu memang fiksi belaka, tapi bisa saja itu sebuah fakta yang sengaja Ayah dan Bunda tutup-tutupi dariku selama ini. Mungkin mereka takut bila aku merasa terpukul mengetahui kebenaran. Mungkin mereka takut bila aku mempertanyakan siapa lelaki yang telah mencampakkanku dengan teganya.
            Boleh kutahu siapa ayah jabang bayi ini?” tanya Grey seraya mengelus lembut perut Kimmi yang kini membuncit. Usia kehamilannya sudah cukup tua. Sebentar lagi bayi mungil akan terlahir ke dunia.
Tetes demi tetes air mata meleleh dan menganak sungai membasahi wajah Kimmi. Ingin dijawabnya pertanyaan itu, namun lidahnya kelu tak mampu berkata. Grey menggenggam erat tangan Kimmi. Lalu melanjutkan ucapannya, “Tak perlu kau jawab bila belum siap memberitahukannya. Aku akan tetap menerimamu apa adanya.”
            Bayi itu terlahir sempurna, kulitnya yang putih, bibirnya yang mungil, matanya yang sayu, hidungnya yang bangir diwariskan dari bundanya. Pasti ayahnya pun adalah lelaki yang cukup tampan. Namun hingga bayi itu beranjak remaja, Kimmi tak pernah mau memberitahukan kepada Grey siapa ayah kandungnya. Meskipun demikian, Grey tetap setia menjaga buah hatinya dengan penuh kasih sayang.
Seandainya Ayah masih hidup ketika aku membaca novel ini, mungkin aku bisa menanyakan hal ini langsung kepadanya. Namun novel ini baru dicetak setelah Ayah meninggal dalam kecelakaan pesawat setahun yang lalu. Terkadang aku ingin marah pada Tuhan karena membiarkanku selamat dalam kecelakaan itu. Memisahkan Ayah dan aku untuk selama-lamanya.
***