Cuma Gosip oleh Naminist Popy
Cerpen ini dimuat di Majalah HAI No.31 Tahun 2012
![]() |
@NaministPopy |
Pagi
sekali aku berangkat ke sekolah. Berjalan kaki karena angkot yang kutunggu
belum juga lewat. Mentari pagi yang menyapaku dengan malu-malu menghangatkan
jiwaku yang kian membeku. Beku karena PR yang menumpuk dan belum dikerjakan.
“Mole...”
Seorang gadis manis dari ujung jalan menyapaku. Rambutnya dikuncir ekor kuda
dengan riasan tipis seadanya. Ia terlihat segar dan ceria.
“Bareng,
ya,” ujarnya kemudian. Aku mengangguk lesu.
“Kenapa
cemberut gitu? Semangat, dong. Semangat...!” Lagi-lagi gadis itu yang bicara.
“Udah
ngerjain PR belum, Pi?” Kali ini aku yang bertanya.
“Udah...”
“Lihat,
ya.”
“Oh, kamu
mau nyontek?”
Untuk kali
kedua aku terpaksa mengangguk lesu.
“Nggak.
Aku nggak mau ngasih contekan. Aku nggak mau kamu jadi bodoh gara-gara
nyontek!”
Pia memang
begitu. Ia seorang gadis yang cerdas dan selalu menjadi juara kelas. Setiap
kali aku kesulitan pelajaran matematika, ia tak pernah mau memberikan
jawabannya langsung. Ia akan mulai mengambil buku coret-coretannya, menuliskan
beberapa rumus, dan menjelaskan padaku cara menyelesaikannya. Namun, tidak
serta-merta memperlihatkan coretan yang telah ia tulis. Ia menutup bukunya,
lalu memintaku menulis ulang sendiri di buku tulisku tanpa melihat coretannya
lagi.
“Jadi kamu
tinggal substitusi nilai x aja, Mole,” Pia menjelaskan.
“Mm... I see. Thanks, Pi.”
Pia
tersenyum menatapku. Tatapan matanya membuatku salah tingkah. Ia memandangku
sangat dalam. Matanya tajam seakan hendak menembus jantungku. Ah, aku tak
pernah melihat Pia seperti ini. Ada apa dengan Pia?
“Mole, aku
digosipin lesbi sama teman-teman sekolah. Padahal kamu tahu sendiri kalau aku
ini normal...!” Kini Pia menundukkan kepalanya. Embun di pelupuk matanya mulai
mengalir ke pipinya.
“Kenapa
kamu nggak pacaran aja sama cowok? Biar teman-teman nggak gosipin kamu lagi...”
Hening.
Pia bergeming. Sekian menit tak ada suara lagi di antara kami. Hanya deru nafas
yang teratur. Hanya cahaya pagi yang menembus masuk melalui kaca jendela dan
pintu kelas yang terbuka.
“Aku nggak
mau pacaran sampai lulus sekolah. Aku nggak mau konsentrasi belajarku terganggu
gara-gara mikirin cowok,” jawabnya membuatku semakin mengagumi gadis yang duduk
di sampingku.
“Hanya
pura-pura saja!” cetusku.
“Mm...”
Pia bergumam tak jelas.
Suara
derit pintu mengalihkan pandangan kami yang sedang berpikir keras menemukan
solusi atas gosip yang menimpa Pia.
“Pia,
Mole... ngapain berdua-duaan di kelas? Kalian pacaran, ya?” celetuk Adit seraya
melemparkan ranselnya ke bangku.
Pia
menggelengkan kepala. Aku pun mengikutinya. Sedetik kemudian ia berubah pikiran
dan menganggukkan kepala. Aku tercenung melihatnya. Ia baru saja membuat
keputusan sepihak tanpa persetujuanku terlebih dahulu.
“Iya, Dit.
Aku sama Mole baru jadian. Kamu nggak ngucapin selamat buat kami?” Pia
merangkulku layaknya seorang kekasih.
“What...?! Jadi gosip kalau Pia lesbi itu
nggak bener, ya! Buat ngerayainnya traktir aku makan di kantin, dong. Bubur
ayam boleh juga. Mumpung aku belum sarapan.”
Pia
menarik lenganku. Ia menggiring kami menuju kantin. Kami pun sampai di kantin
yang masih tampak lengang. Belum ada siswa atau siswi yang mampir ke sini
selain kami bertiga. Bude dan Pakde yang menjual makanan juga masih sibuk
menyiapkan jajanannya. Malah di beberapa sisi masih kosong karena pemiliknya
belum datang.
“Ketupat
sayur aja, gimana? Buburnya belum ada,” Pia mengusulkan.
Adit
mengangguk-angguk senang. Matanya berbinar-binar melihat ketupat digantung di
atas gerobak dorong. Perutnya sudah keroncongan minta diisi makanan. Alhasil,
pagi ini kami sarapan dengan ketupat sayur buatan Bude Rahmi.
“Mole,
teman-teman sekelas nanti siang ditraktir juga ya. Aku sebagai ketua kelas yang
bijaksana akan mengumumkan kabar gembira ini,” celetuk Adit membuat mata Pia
membulat.
“Bilang
aja kalau kamu masih laper dan minta ditraktir lagi!” sahut Pia galak.
“Aku jamin
Pia nggak bakal digosipin lagi sama teman-teman. Kalau cuma traktir aku kan nggak ngaruh!” kilah Adit.
“Oke, deh.
Tapi nanti kamu nggak ikut ditraktir, ya. Kamu mesti bayar sendiri,” ketus Pia.
Wajah Adit tampak kurang senang.
Aku yang
hanya menjadi pendengar perdebatan antara Pia dan Adit hanya geleng-geleng
kepala. Menghitung sisa uang yang berada di saku seragam sekolahku. Ah, apa ini
cukup ya?
***
![]() |
@NaministPopy |
Sukses dikerjain Adit, Pia dan
aku hanya bisa menggerutu. Sial! Seharusnya kami berpikir matang-matang sebelum
mentraktir Adit dan teman-teman sekelas. Uang bayaran yang seharusnya
dibayarkan hari ini, ludes dipakai untuk mentraktir mereka semua.
“Pi, gimana nih? Bulan ini aku mesti bayaran kalau mau
ikut ujian semester!” keluhku.
“Tenang, Mole. Karena kamu udah bantuin aku dari gosip
murahan itu, aku juga bakalan bantuin kamu. Gimana kalau kita ngamen buat
ngumpulin uang bayaranmu?” cetus Pia.
“Kalau sampai ketahuan temen-temen kita ngamen di
jalanan, bakalan timbul gosip baru, Pi...”
“Iya, ya. Gimana kalau kita ikutan lomba nulis blog?
Siapa tahu aja menang! Hadiahnya lumayan, lho.”
“Ingat, Pi. Bulan ini tuh
tinggal sepuluh hari lagi. Emangnya lomba nggak butuh waktu buat nungguin
pengumuman juri. Hadiahnya juga nggak langsung cair gitu aja, kan?!”
“Oh, I see...
Gimana kalau kita tetap ikutan lomba, tapi biar uangnya terkumpul dengan cepat,
kita pinjem dulu. Pinjemnya fifty - fifty.
Gimana?”
Aku mengangguk lesu. Mau bagaimana lagi, tidak ada cara
lain. Aku dan Pia harus segera meminjam uang dari teman atau saudara.
Ngomong-ngomong, siapa saja orang tak beruntung yang akan kami mintai tolong,
ya?
“Mole, aku udah bikin daftar calon orang baik hati, nih.”
Pia menunjukkan daftar teman sekolah yang mau dimintai pinjaman.
“Banyak banget, Pi?”
“Kan aku pinjamnya nggak sekaligus yang
kita butuhkan. Pakai strategi, dong! Cuma lima ribu tiap satu orang kan nggak berasa. Disesuaikan dengan
uang jajan mereka. Syukur-syukur malah dikasih tanpa harus mengembalikan,
hehehe...”
Kutepuk
keningku. Tak kusangka ternyata Pia lebih pandai dalam hal pinjam-meminjam.
Kalau ada koperasi simpan pinjam yang membuka lowongan pekerjaan, ia sangat
cocok menjadi pengurusnya. Karena ia pasti tahu trik-trik anggota dalam
mengelabui para pengurus. Atau bisa juga Pia menjabat bendahara kelas yang
kejam saat memalak siswa-siswi membayar uang kas. Sayangnya ia lebih memilih
untuk menjadi sekretaris di kelas maupun OSIS.
***
![]() |
@NaministPopy |
Aksi
meminjam lima ribu rupiah per siswa pun berjalan dengan sukses di hari pertama.
Sebagian teman sekelas malah memberikan uangnya dengan cuma-cuma. Aku membayar
uang sekolahku keesokkan harinya.
Lomba
menulis blog pun langsung kami garap bersama setelah urusan bayaran sekolah
telah beres. Sepulang sekolah, aku dan Pia menyelesaikan tulisan blog kami
dengan sungguh-sungguh. Aku semakin dekat saja dengan Pia. Tak jarang kami
mengerjakan PR dan tugas sekolah bersama-sama. Sampai bulan berikutnya
pengumuman pemenang lomba menulis blog diumumkan.
“Pi, nanti
malam kan pengumuman pemenang. Blog
kita bakalan jadi juara nggak, ya?” Aku mulai membuka percakapan saat pulang
bersama Pia.
“Yakin
dong, Mole. Kita pasti menang! Kalaupun kalah, yang penting kita sudah mencoba
dan berusaha semampu kita,” jawab Pia dengan senyum manisnya.
“Mm...,
iya, sih...” gumamku. Pia memang sosok gadis remaja yang berpikiran dewasa dan
menyenangkan. Ia tak seperti kebanyakan gadis yang kukenal. Atau mungkin aku
sudah menyukainya sejak lama? Ah, bukankah status kami saat ini adalah pasangan
pura-pura?! Tepatnya aku dan dia berpura-pura pacaran di depan teman-teman
sekolah.
“Pi,
gimana kalau kita pacaran beneran?” Aku menggenggam tangan Pia. Gadis itu
sangat terkejut dengan keputusanku yang sangat mendadak.
“Mole...”
Pia mengedipkan matanya. Seperti memberi peringatan.
“Memangnya
kenapa? Apa karena kamu nggak mau pacaran sampai lulus sekolah? Aku tahu, Pi.
Kamu menyukaiku, dan aku pun menyukaimu.” Mendengar ucapanku kali ini Pia
mendengus kesal.
“Stop...!”
Angkot yang kami tumpangi berhenti mendadak. Sebagian penumpang terlonjak dari
tempat duduknya. Ini karena pak supir mengerem secara mendadak. Tanpa basa-basi
padaku seperti biasanya, Pia berlalu begitu saja.
Keesokkan paginya, aku dan Pia tak lagi berangkat ke
sekolah bersama-sama. Pia tak mau membalas SMS-ku dan merijek telepon dariku.
Sepertinya ia tengah marah besar. Sebelumnya, aku tak pernah mendapati gadis
kuncir ekor kuda itu bersikap jutek padaku. Saat sampai di kelas, Vanya menatapku
dengan sinis. Vanya... Ah, bukankah kemarin kami satu angkot dengannya?
Jangan-jangan Pia marah karena...
“Mole, jadi selama ini kalian...” Adit menghampiri tempat
dudukku. Pagi itu belum banyak yang datang ke kelas.
“Cuma pura-pura pacaran?” Adit melanjutkan.
“Kata siapa? Kami memang beneran pacaran, kok!” Aku
membantah.
“Kemarin kalian bertengkar di angkot, kan? Emangnya
kalian nggak tahu kalau ada Vanya di situ...” Sedetik kemudian aku dan Adit
menoleh ke arah Vanya. Ya, gadis kuncir dua itu memang ada di sana. Mendengar
percakapan kami dan ikut terlonjak ketika angkot berhenti mendadak. Kali ini
aku tak mampu berkilah lagi. Kebohongan kami akan segera terungkap.
Sepanjang pelajaran, Pia tampak gelisah. Aku jadi merasa
bersalah atas semuanya.
“Emang
kamu dan Mole cuma pura-pura pacaran supaya nggak digosipin lesbi sama
teman-teman? Dan sebenarnya kamu memang lesbi, Pi?!” tanya Dauna saat
istirahat. Pia cemberut dan meninggalkannya begitu saja. Saat ini gosip yang
menimpa Pia bila hanya berpura-pura pacaran denganku sudah tersebar luas di
sekolah. Vanya dengan sengaja menyebarkan berita tersebut.
Tak kuduga Pia menemukan persembunyianku. Selama
istirahat aku membaca buku di perpustakaan.
“Mole...” panggil Pia.
“Pia, maafin aku. Kemarin aku nggak tahu kalau Vanya ada
di angkot juga,” sahutku.
“Mm... nggak apa-apa. Maafin aku juga bertindak seperti
itu padamu. Aku cuma mau bilang kalau aku mau menjadi pacar beneran. Menurutku,
tak ada bedanya status pacaran atau sahabatan di antara kita. Yang terpenting,
gosip lesbi yang menimpaku akan lenyap seiring berjalannya waktu. So, kamu masih mau jadi pacarku, Mole?”
Aku melonjak-lonjak kegirangan. Beberapa pasang mata
tertuju ke arah kami. Ah, biar saja. Yang terpenting gosip lesbi yang menimpa
Pia itu akan hilang dengan sendirinya! Namun, aku tersentak ketika Adit ada di
hadapan kami. Sambil senyum-senyum sendiri, dia berkata, “Teman-teman sekelas
ditraktir lagi, nih?”
***![]() |
@NaministPopy |