Review Film Jingga


Sabtu, 20 Februari 2016.

            Pagi sekali aku meninggalkan rumah. Menggunakan jasa ojek untuk sampai di perempatan lampu merah. Ya, aku dan sepupuku janjian di sana. Berkali-kali ia menghubungiku, namun aku tak bisa mengangkat telepon karena masih di atas motor. Ketika aku sampai di lokasi janjian, kulihat ia sedang berdiri sendirian. Kutepuk bahunya pelan.
            “Udah lama ya, Gas?” aku menyapanya.
Gagas membalikkan badan, “Kok teleponnya nggak diangkat? Aku kira nggak jadi datang.”
            “Jadi, dong. Yuk, nunggu bus di sana.” Aku menunjuk halte dekat pintu masuk tol.
            “Kita naik bus apa, sih?” Gagas membuntutiku.
            “Itu...” Kutarik lengan Gagas agar segera masuk ke patas AC 73 yang kebetulan lewat saat ia menanyakan busnya.
            Kami duduk di belakang karena bangku depan sampai tengah telah terisi penuh. Sebenarnya aku lebih senang duduk di samping jendela, tapi tempat favoritku itu telah diduduki seorang pria berkacamata yang tak kukenal. Aku duduk di antara Gagas dan pria itu.
            Sebelumnya kami belum pernah ke Gandaria City, tapi aku mencari tahu angkutan umum yang bisa mengantarkan kami ke tempat tujuan. Dan mungkin pria berkacamata yang duduk di sampingku ini bisa kutanyai tentang lokasi mall tersebut.
            “Maaf, apa benar bus ini lewat Gandaria City?” tanyaku basa-basi. Padahal jelas sekali aku sudah tahu jawabannya.
            Pria itu mengangguk, “Ya, saya juga mau ke sana.”
            “Oh, ya? Kebetulan sekali.” Aku tersenyum, “Kita bisa turun bareng.”
            Gagas menguping percakapan kami. Ia tampak lega saat tahu bahwa kami tidak akan tersesat karena pria itu akan menjadi guide.
“Kalian pakai baju orange juga, ya.” Pria itu memperhatikan pakaian yang kami kenakan. Aku dan Gagas memang janjian memakai atasan jingga yang dipadukan dengan celana denim dan sepatu keds. Kami seperti anak kembar, walau beda ayah dan ibu. Orangtua Gagas adalah paman dan bibiku.
Aku mengangkat bahu, “Memangnya kenapa?”
“Saya juga pakai kaos orange, kok.” Pria itu membuka beberapa kancing kemeja kotak-kotak berlengan panjang yang dikenakannya, t-shirt yang bersembunyi di balik kemeja itu kini kelihatan. Ya, warna kaosnya memang jingga.
“Jadi...” Aku dan Gagas kompak bilang, “Kita bakal nonton film Jingga bareng?”
Dengan gaya sok cool-nya pria berkacamata itu mengangguk-angguk.
            Patas AC 73 berhenti di depan mall besar yang dikenal dengan sebutan Gancit atau Gandaria City. Kami turun dari bus dan bergegas menuju pintu masuk mall.
Pak Satpam di pintu masuk menyapa kami dengan ramah, “Undangan nonton bareng film Jingga, ya?”
Aku tersenyum, “Iya, Pak. XXI lantai berapa ya, Pak?”
“Lantai 2, Mbak.”
Kami bergegas masuk lift dan menekan tombol angka dua. Sesampainya di XXI, jarum jam baru menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja masih sangat lengang, hanya terlihat beberapa panitia acara yang sibuk memasang banner standing dan menyiapkan meja registrasi.
Pria itu menghampiri salah seorang wanita yang berdiri dekat banner standing, “Mau dibantu nggak, Sar?”
Wanita yang disapanya menoleh dan langsung mendekapnya, “Ya ampun, artisnya udah datang. Yang lain mana?”
“Yang lain masih pada di jalan,” sahutnya.
Aku dan Gagas menatap wajah-wajah pemeran film yang terpampang di banner standing lantas membandingkannya dengan wajah pria itu. Sangat mirip, hanya saja di banner pria itu tanpa kacamata. Kini, aku dan Gagas saling berpandangan. Seolah baru sadar kalau pria itu adalah...
“Kita minta foto bareng sekarang!” seru Gagas.
Aku mengiyakan, “Yuk! Mumpung nggak pakai antre.”
***
Kisah ini hanya fiktif belaka. Mendingan kita langsung registrasi dan masuk pintu teater empat karena filmnya akan segera dimulai.
***


Review Film Jingga

         Awalnya Jingga bisa melihat, namun sebenarnya ia menderita low vision sejak kecil. Dokter memberitahukan orangtuanya saat usia Jingga baru 7 bulan. Apa itu low vision?
            Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan penglihatan yang tidak dapat dibantu dengan menggunakan kacamata. Jarak pandang maksimal untuk penyandang low vision adalah 6 meter dengan luas pandangan maksimal 20 derajat. Penyandang low vision hanya kehilangan sebagian penglihatannya dan masih memiliki sisa penglihatan yang dapat digunakan untuk beraktivitas.
            Ciri-ciri umum low vision:
  1. Membaca dan menulis dalam jarak dekat.
  2. Hanya dapat membaca huruf berukuran besar.
  3. Memicingkan mata atau mengerutkan dahi ketika melihat di bawah cahaya yang terang.
  4. Terlihat tidak menatap lurus ke depan ketika memandang sesuatu.
  5. Kondisi mata tampak lain, misalnya terlihat berkabut atau berwarna putih pada bagian luar.
            Balik lagi ke film Jingga. Adegan demi adegan yang memperlihatkan masalah penglihatan Jingga ditampilkan. Jingga sering menabrak atau menjatuhkan barang karena pandangannya kabur. Puncaknya adalah saat mata kiri Jingga dipukul teman sekolahnya sehingga mengalami traumatic optic neuropathy. Apa itu traumatic optic neuropathy?
            Traumatic Optic Neuropathy yang biasa disingkat TON adalah trauma yang mengenai bola mata, yang menyebabkan gangguan fungsional berupa penurunan penglihatan dari yang ringan sampai kebutaan. TON adalah jenis trauma yang paling sulit ditangani.
            Dokter memvonis Jingga akan buta total. Ayahnya tak bisa menerima kenyataan pahit ini. Ibunya pun tampak sangat terpukul. Terlebih Jingga yang akan menjadi tuna netra pada usia remaja. Jingga merasa putus asa dan melampiaskan frustrasinya dengan memukul drum sepuasnya. Ayah dan ibunya bertengkar hebat. Violet, adik Jingga, menangis  di kamar.
            Pukulan drum Jingga semakin keras dan membabi buta. Sambil menangis Violet berlari ke ruangan Jingga. Ia berdiri di depan pintu karena pintu itu tertutup. Ibunya pun demikian. Sampai akhirnya tak lagi terdengar suara pukulan drum. Ibu dan Violet masuk ruangan itu dan mendapati Jingga tak sadarkan diri. Ada darah di stik drumnya. Ya, Jingga mencoba bunuh diri. Jingga segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
            Kini, Jingga menjadi tuna netra. Ia pindah ke Sekolah Luar Biasa Negeri A Bandung. Seraya menuntun Jingga, ibunya menjelaskan rute menuju ruang kepala sekolah. Pak Kirmizi menceritakan masa lalunya dan berpesan supaya Jingga tidak menyerah serta bangkit dari keterpurukan. Jingga mulai menerima dirinya yang tuna netra. Ia ingin belajar huruf braille dan melanjutkan sekolah. Jingga tak mau merepotkan ibunya lagi.



        Di sekolah yang baru Jingga berkenalan dengan Marun, Magenta, dan Nila. Mereka tuna netra yang menggemari musik. Jingga bergabung dengan band mereka dan menempati posisi drummer. Marun menempati posisi gitaris, Magenta pada bas, dan Nila sebagai vokalis sekaligus keyboardis. Setiap pulang sekolah mereka latihan ngeband membawakan lagu yang akan diikutkan kompetisi.
            Sebagai leader band tersebut, Marun mengajak mereka untuk rekaman lagu kompetisi di studio Kang Gory. Ia menjadi guide dalam perjalanan mereka. Ada adegan yang mengundang tawa seperti saat menyebrang jalan di perempatan lampu merah. Jingga bertanya pada Marun, bagaimana Marun bisa tahu kapan saatnya menyebrang? Marun menjawab bahwa tuna netra menggunakan pendengarannya. Tentu saja tanda lampu merah adalah saat suara bising mendadak sunyi karena semua kendaraan berhenti. Jingga bertanya lagi, apa kau pernah ditabrak? Dan Marun pun menjawab, tidak, kalau menabrak sering! Mereka pun tergelak. 



            Muncul masalah dalam persahabatan mereka sejak Marun sering mimisan. Marun melampiaskan kemarahan pada Nila dengan mengatakan bahwa vokal gadis itu berubah. Sebenarnya Marun cemburu atas kedekatan Nila dan Jingga.
            Ya, Nila dan Jingga memang tampak tertarik satu sama lain. Nila yang buta sejak lahir karena virus rubella. Nila yang menyukai suara hujan dan tak suka suara angin malam. Nila yang ingin mandiri tanpa ada yang menatap iba terhadapnya. Nila yang ingin ibunya bangga karena terlahir istimewa. Nila yang mengetahui seseorang bahagia atau tidak hanya dari tarikan napasnya. Nila yang mengajak Jingga nonton film di bioskop dengan didampingi tenaga pembisik.
            Marun mogok latihan ngeband. Magenta dan Nila berusaha menghubunginya dengan telepon genggam khusus tuna netra, tapi Marun tak mau menerima teleponnya. Ia menyendiri. Wajahnya pucat. Dan lagi-lagi keluar darah dari hidungnya. 
            Sampai akhirnya Marun diopname di rumah sakit. Kang Gory bertanya kepada dokter tentang penyakit Marun. Ternyata Marun mengidap kanker darah karena kandungan merkuri di tubuhnya. Ya, Marun pernah bercerita saat mengobrol dengan ketiga sahabatnya bahwa ia buta sejak lahir, air di lingkungan rumahnya di Karawang tercemar limbah. Tentu saja limbah itu mengandung merkuri.
          Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah Marun bisa diselamatkan? Bagaimana dengan kisah cinta segitiga di antara Marun, Jingga, dan Nila? Bagaimana dengan persahabatan mereka? Bagaimana dengan rekaman lagu kompetisi? Biar penasaran, saya tidak akan menjabarkan jawabannya di sini. Silakan saksikan Film Jingga mulai tanggal 25 Februari 2016 di bioskop kesayangan Anda! Film ini recommeded banget.
***
Sebelum pulang, saya berfoto bareng Mbak Lola Amaria selaku produser sekaligus sutradara Film Jingga, Qausar Harta Yudana yang berperan sebagai Marun, Hany Valery sebagai Nila, dan Hifzane Bob sebagai Jingga.



Film ini juga dibintangi oleh Ray Sahetapy sebagai Ayah Jingga, Keke Soeryokusumo sebagai Ibu Jingga, Nina Tamam sebagai Ibu Nila, Aufa Assagaf sebagai Magenta, dan Isa Raja sebagai Kang Gory.

Terima kasih kepada Femina yang telah mengadakan acara nonton bareng Film Jingga. Goodie bag-nya keren. Terima kasih, ya.