Pacar Absurd Bin Telatan


Pacar Absurd Bin Telatan oleh Naminist Popy 
Cerpen ini dimuat di Tabloid GAUL No.9 Tahun 2013

@NaministPopy


Punya pacar yang sering telat menjemput, telat datang ke tempat janjian, ataupun telat mikir, memang sangat menyebalkan! Dan sungguh kurang beruntungnya diriku karena pacarku sering terlambat. Bukan sekali atau dua kali, tetapi sudah berkali-kali sampai tak hingga. Namun anehnya, aku masih tetap mau menjadi pacarnya hingga detik ini.
Sudah satu setengah jam aku menunggu Tora di halte depan sekolah, namun lelaki jangkung itu belum muncul juga. Kemana dia? Handphone-nya nggak bisa dihubungi. Inilah repotnya kalau pacaran beda sekolah. Nggak bisa mengetahui aktivitasnya secara langsung.
            “Mau nunggu Tora sampai kapan, Wid? ” celetuk Dauna yang baru keluar dari gerbang bersama Rayya karena makan di kantin dulu.
            “Sampai kiamat!” sahutku, jengkel.
            “Oh, kalau gitu, gue sama Rayya pulang duluan ya.”
            Mau tak mau aku menganggukkan kepala. Mereka pun berlalu meninggalkanku. Sekarang aku sendirian lagi. Hari sudah semakin sore. Aku melirik jarum jam di tanganku. Setengah jam lagi Tora tidak datang, berarti aku harus menyetop bajaj.
            “Ya ampun, Wid. Lo belum pulang? Bareng gue naik bajaj aja, yuk!” sapa Vania yang baru selesai rapat OSIS.
            “Nunggu setengah jam lagi deh, Van.” Kupaksakan untuk tersenyum di depan Vania.
            “Okay, deh. Selamat menunggu pangeran telatanmu itu, ya!” Vania mencibirku seraya menyetop bajaj. Kemudian melambaikan tangannya dengan semangat. “Sampai ketemu besok ya, Wid.”
Untuk kesekian kalinya aku merasa sendirian lagi. Aku menoleh ke gerbang sekolah. Sudah nampak lengang. Mungkin aku siswi terkhir yang masih setia berada di sekitar sekolah. Tepatnya di halte ini. Huh, semuanya gara-gara Tora!
            Sekarang, total waktu dua jam aku menunggu Tora. Dan ia belum tiba juga. Akhirnya aku menyetop bajaj yang melintas. Baru saja aku membuka pintu bajaj dan bergegas masuk, tiba-tiba Tora muncul dengan wajah polos tanpa dosa.
            “Maaf, Bang. Wida saya yang antar pulang!“ seru Tora, membuat Abang Bajaj kesal.
            “Maaf, Gan. Anda telat! Nih cewek ane yang antar. Jangan mutusin rezeki ane!” ketus Abang Bajaj.
            “Nama saya Tora, Bang. Biasa dipanggil Tor. Bukan Gan!” Tora membuka pintu bajaj dan menarik lengan kiriku. Abang Bajaj melotot dan tak mau kalah, ia menarik lengan kananku.
            “Cukup!” teriakku, namun mereka tetap saja menarik-narik lenganku. Mungkin mereka akan melepaskan kedua lenganku bila sudah putus. Huh, sungguh menyebalkan!
            “Tor, hari ini gue naik bajaj aja!” cetusku.
            “Nggak bisa! Lo harus naik motor gue!” Tora semakin kuat menarik lenganku.
            “Maaf, Tor. Lo tuh udah telat banget!” Aku berusaha melepaskan diri dari kedua orang aneh di hadapanku. Namun masih tetap gagal.
            “Betul, betul, betul...!” Abang Bajaj malah berlagak jadi Ipin, saudara kembarnya Upin dalam kartun.
            “Lepasin gueee...!” Dengan sekuat tenaga aku menjerit. Suaraku menggelegar, melebihi suara geledek di kala hujan. Secara serempak Tora dan Abang Bajaj melepaskan cengkeramannya. Aku bersyukur akhirnya lenganku terbebas dari tarikan maut mereka. Kurogoh saku seragamku. Kurasa lima ribu rupiah cukup pantas untuk mengganti rugi waktu Abang Bajaj yang terbuang sia-sia gara-gara Tora. Si Abang Bajaj kan juga butuh uang buat makan anak dan istrinya di rumah.
            “Bang, ini tarif argo bajaj-nya.” Kuberikan selembar lima ribuan untuk Abang Bajaj. Ia pun menerima dengan senang hati.
            “Tor, ini terakhir kalinya gue mau maafin lo. Kalau lo telatan lagi, mendingan kita putus!” Aku keluar dari bajaj dan tindakanku membuat Tora tersenyum penuh kemenangan.
              Merasa puas mendapat upah buta dariku, Abang Bajaj meninggalkan kami dengan bahagia. Bunyi cempreng mesin bajaj pun semakin lama semakin nyaris tak terdengar, hingga akhirnya menghilang tanpa jejak. Dengan enggan aku membenahi posisi dudukku di belakang Tora.
            “Wid, perasaan gue, bajaj itu nggak pake argo kayak taksi deh! Kenapa lo kasih lima ribu ke Abang Bajaj? Padahal kan dia belum menjalankan tugasnya sebagai supir?” Tora menyetarter motor bebeknya.
            “Bodo amat! Mana helm-nya? Gue mau pake helm!”
            “Yah, lupa bawa helm, Wid. Gue juga nggak pake helm nih.”
            “Kalau ditilang gimana?”
            “Udah deh. Tenang aja. Kan lo sama gue. Cowok ganteng yang cerdik dan banyak akal melebihi kancil si pencuri timun...”
            “Dan telatan kayak undur-undur!”
            Aku membayangkan binatang undur-undur yang berjalan mundur seperti Tora. Cowok narsis ini memang seperti undur-undur. Bukannya maju biar nggak telat, malah mundur ke belakang dan terus-terusan terlambat. Namun parahnya, aku masih saja mau menjadi pacarnya.
            Motor bebek yang dikendarai Tora melaju dengan kecepatan sedang. Tak ada masalah sampai kami melewati lampu merah kedua. Namun ketika melewati fly over, terjadilah hal yang tidak diinginkan. Beberapa polisi sedang razia sore. Motor yang melintasi fly over itu pun diminta untuk menepi.
            “Saudara kami tilang!” seru Pak Polisi.
            “Kenapa kami ditilang, Pak?” tanya Tora, sok polos. Membuatku ingin menjitaknya saat itu juga. Tapi kuurungkan karena menghormati Pak Polisi yang sedang bertugas. Ya jelas ditilang dong. Kami kan nggak pakai helm!
            “Demi keselamatan seluruh pengguna jalan raya, seluruh pengendara sepeda motor diwajibkan menggunakan helm,” Pak Polisi menjelaskan.
            “Aduh, Pak. Kalau mau nilang ngaca dulu dong! Lha, bapak pake helm, di mana motornya?” sahut Tora, membuatku semakin gemas ingin menjitak kepalanya sampai pitak.
            Bukannya bertindak tegas, Pak Polisi malah memegangi helm-nya dan kedua matanya mencari-cari motornya yang terparkir di tepi jalan layang.
            “Tuh kan, Pak. Bener kata saya. Kalau gitu kami cabut duluan ya, Pak. Bye bye...” Tora menarik gas motornya dan melarikan diri dari kasus tilang sore ini.
            Dulu sih, aku sering berpikir soal polisi yang sengaja mencari pemasukan tambahan setiap akhir bulan. Mereka sengaja mencari celah untuk menilang pengemudi kendaraan bermotor. Dan kasus tilang tersebut akan berakhir dengan jalan damai berupa uang sogokan. Ah, tapi sore ini Tora telah mematahkan pemikiranku. Pak Polisi tidak mendapatkan hasil apa-apa dari seorang Tora yang absurd bin telatan. Seseorang yang jadi pacarku sudah hampir setengah tahun. Mengapa aku bisa bertahan dengannya selama itu? Padahal ia sering kali membuatku jengkel, kesal, bahkan setengah gila. Itu karena satu hal yang tak mudah kupahami. Semacam perasaan yang entah mengapa selalu saja membuatku tidak tega membuatnya meneteskan air mata.
            Ya, dulu aku pernah minta putus. Tepatnya sebulan yang lalu. Saat itu Tora bikin aku kesal karena membuatku menunggu selama 3 jam 30 menit di restoran cepat saji. Sampai restoran itu hampir tutup, ia baru datang. Dan seperti biasa, Tora memberikan berbagai alasan agar ia dimaafkan. Tapi, aku sudah tidak mampu menahan emosiku lagi. Aku marah-marah di depan umum dan minta putus. Namun dengan air mata buayanya, Tora menangis seperti anak kecil. Aku pun memaafkannya dan memberikan kesempatan supaya ia mau berubah.
            Kami memasuki kompleks perumahan yang rindang. Mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Tora memperlambat laju motornya dan berhenti ketika sampai di depan rumahku.
            “Mau mampir dulu, nggak?” tanyaku basa-basi.
            “Nggak deh. Langsung pulang aja. Lagi pula kan Minggu kita ketemu. Minggu ketemu di..., di Taman Menteng jam sepuluh pagi ya! Besok gue nggak bisa menjemput lo di sekolah,” jawab Tora agak gugup. Mm, sungguh mencurigakan. Sebenarnya apa yang sedang ia sembunyikan dariku? Ah, aku tak peduli. Lebih baik berpikir positif saja.
***
@NaministPopy



Minggu pagi yang cerah. Aku sengaja mengulur-ulur waktu untuk datang ke tempat janjian. Aku ingin memberi pelajaran bagi Tora supaya ia bisa merasakan bagaimana rasanya menunggu kedatangan pacar yang terlambat selama berjam-jam. Tapi aku bukan gadis yang tegaan. Aku hanya memberi batas waktu terlambat dua jam saja.
            Aku tiba di Taman Menteng telat dua jam dari waktu yang telah dijanjikan. Dari jauh aku melihat Tora tampak resah menunggu kedatanganku. Ia menendang-nendang botol air mineral yang sudah kosong. Kemudian memainkan gantungan kunci motornya dengan gemas. Wajahnya cemberut seperti badut yang belum minum obat. Mm, semoga Tora jera setelah merasakan penderitaan menunggu seseorang yang sangat ia sayangi. Sudah puas membuat Tora merasa tersiksa, aku menghampirinya dengan wajah semenyesal mungkin.
            “Hai, Tora... maaf ya, gue terlambat. Habisnya tadi bangun kesiangan. Lo nggak apa-apa, kan?” Aku melihat wajah Tora menegang.
            “Widaaa..., kenapa sih lo pakai terlambat segala! Nunggu setengah jam itu rasanya kayak setahun! Mana sekarang udah siang, panas pula. Gue nggak sabar pengin jambakin rambut lo sekarang...”
            Sebelum Tora menjambak rambutku karena kesal, dengan gesit aku menahan tangannya terlebih dahulu. Hah, Tora baru sampai setengah jam yang lalu? Baru menungguku setengah jam! Bagaimana bila ia jadi aku?
            “Cukup, Tor. Sekarang lo udah ngerasain nggak enaknya menunggu. Cuma setengah jam aja lo udah ngeluh! Gimana kalau lo jadi gue yang nungguin lo berjam-jam...”
            Wajah Tora berubah sendu. Embun-embun di pelupuk matanya mulai meleleh satu satu. Aku nggak tega melihat Tora seperti itu.
            “Tapi lo nggak minta kita putus kan?” Tora menatap mataku.
            “Kan gue minta putus kalau lo yang terlambat. Nah, hari ini gue yang terlambat. Bukan lo, Tor!” Mata kami beradu.
            “Tapi kan gue keceplosan kalau baru nyampe setengah jam yang lalu. Itu artinya gue juga terlambat!”
            “Karena kita sama-sama terlambat, jadinya dimaafkan deh!”
            “Wid, selama ini gue telat karena sering menunda-nunda waktu. Gue mikir kalau naik motor kan cepet sampai.”
            “Udah deh. Yang penting sekarang lo berjanji supaya nggak telat lagi!”
            “Gue berjanji nggak akan telat menjemput Wida, nggak akan telat ke tempat janjian, nggak akan telat... Nggak akan telat apalagi ya?” Tora menyilangkan tangannya ke dadanya.
            “Nggak akan telat mikir!” ketusku.
            Tora mengangguk-angguk setuju.
            “Kita mau jalan-jalan ke mana?” tanya Tora setelah menyelesaikan ikrarnya.
            “Beli jam tangan dan helm! Jangan sampai kita ketemu polisi yang waktu itu dan ngerjain beliau habis-habisan lagi!” jawabku dengan mata melotot ke arah Tora.
            “Tapi Wid... Gue lupa kalau sekarang gue mesti jemput nyokap gue yang tadi pagi gue anterin ke pasar tradisional. Telat banget nih jemputnya.”
            Olala, Tor Tor..., terus aku gimana? Mesti menunggumu sampai kamu kembali lagi ke sini? Oh, no...!
***