Pacar Kedua


Pacar Kedua oleh Naminist Popy 
Cerpen ini dimuat di Tabloid Keren Beken No.17 Tahun 2011

@NaministPopy

Sudah hampir satu tahun aku menjomblo. Tak punya pacar yang siap antar-jemput ke mana pun aku pergi. Ke mana-mana sendirian sungguh hal yang membosankan. Namun bagaimana lagi, aku belum menemukan pengganti Jodhi; pacar pertamaku yang menjalin cinta denganku selama dua tahun. Kami putus karena ia selingkuh dengan sahabat karibku.
            Tiga jam lagi tepat satu tahun aku menjomblo. Aku menuju toko buku di mana pertama kali bertemu cinta pertamaku. Siapa tahu saja, ada deja vu edisi kedua. Akan bertemu cinta keduaku di tempat yang sama. Tekadku sudah bulat; tak mau menjomblo lebih dari satu tahun.
            Wow..., perpustakaan ini masih sama seperti tiga tahun yang lalu saat aku mengantarkan kakakku meminjam buku. Wajah penjaga perpustakaannya pun masih mirip yang dulu. Aku mencoba mengikuti alur tiga tahun lalu hingga akhirnya bertemu Jodhi. Mengapa begitu? Tentu saja! Pelbagai cara telah aku lakukan untuk menemukan cinta keduaku, namun sayangnya semuanya gagal total. Mungkin dengan cara yang telah teruji keberhasilannya ini, akan berhasil pula pada akhirnya.
            Seorang cowok dengan postur tubuh agak kurus dan kurang tinggi sedang berusaha mengambil buku tebal yang posisinya berada di bagian pojok paling atas rak buku. Dengan sigap aku langsung membantunya. Penjaga perpustakaan ini kurang cekatan dibanding aku yang selalu menang lomba balap karung setiap 17 Agustus-an. Lagi pula sepertinya mereka juga tidak terlalu peduli pada pengunjung di sini.
            “Terimakasih,” kata cowok berambut gondrong itu.
Dari gayanya, pasti ia satu angkatan dengan kakakku. “Ah, masak sih calon pacar keduaku seperti ini?” tanyaku dalam hati. Tapi bagaimana lagi, waktunya tinggal 60 menit dihitung mundur dari sekarang. Kalau tidak memilih dia, bisa-bisa aku menjomblo seumur sekolah. Aku tidak mau diejek teman-teman sekolah lagi.
            “Mm...,” gumamku, menandakan aku bingung harus bicara apa. Oh, ya... buku! Ia mengambil buku tebal mengenai jurnalistik. Mungkin saja selain kuliah di sini, ia seorang penulis, wartawan, atau fotografer. Karena di tangan kirinya, ia membawa buku mengenai teknik foto yang tak kalah tebal dari buku yang kuambilkan untuknya.
            “Bara.” Cowok itu mengulurkan tangan kanannya. Kujabat telapak tangannya yang cukup halus untuk ukuran seorang laki-laki. Mungkin ia tak pernah membantu ibunya membersikan toilet, mengganti genting yang bocor, atau mencabut rumput di halaman rumah.
            “Sepia.” Terpaksa aku berbohong soal namaku. Wajar, kami kan baru kenal. Aku belum tahu siapa dia. Cowok baik-baik atau tukang iseng. Sekarang banyak sekali kasus cowok yang melecehkan harga diri perempuan. Apalagi aku lumayan cantik dan cukup populer di sekolah. Hei, di sekolah, bukan di kampus ini...
            “Sepertinya kita pernah bertemu, ya?” tanya cowok itu. Aku hanya menggelengkan kepala, tanda bahwa ia keliru.
            “Oh, mungkin aku salah orang,” lanjutnya kecewa.
            “Kamu kuliah di sini?” Kali ini aku yang bertanya.
            “Ya, aku ambil jurusan komunikasi. Kamu?”
            “Mm..., masih sekolah, kelas tiga. Mungkin setelah lulus bakal kuliah di sini.”
            “Senang berkenalan denganmu.”
            Huh, basi! Tentu saja senang. Sudah kubilang kalau aku ini cantik dan populer. Jadi, sungguh hal yang wajar bila ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, tapi aku tidak merasakan ada getaran saat melihatnya. Padahal ia yang terpilih untuk menjadi pacar keduaku. Dan aku harus bisa menaklukkan hatinya sekarang juga.
            “Kita mengobrol di kantin aja, yuk!” ajakku, mengingat waktuku tak banyak lagi.
            “Eh, tapi aku ke sana dulu, ya.” Cowok itu menunjuk tempat administrasi peminjaman buku-buku perpustakaan.
***
Kami memilih duduk di sudut kantin. Pengunjung sore ini lumayan sepi. Kemungkinan mahasiswa-mahasiswi di kampus ini sudah pulang, karena kampus ini tidak membuka jam kuliah malam. Kuperhatikan, calon pacar keduaku ini tidak setampan dan segagah yang kubayangkan. Tapi bila dilihat baik-baik, lama-lama ia tampak keren juga. Rambutnya yang gondrong mengingatkanku pada rocker favoritku.
            “Kenapa ambil jurusan komunikasi?”
            “Karena menarik. Sebagai makhluk sosial kita tidak dapat hidup tanpa berkomunikasi, kan. Lagi pula aku ingin menjadi penulis, wartawan, sekaligus fotografer profesional.”
            Ternyata sesuai dugaanku. “Memangnya kamu belum menjadi wartawan yang profesional?” tanyaku setelah ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Aku melihat di dompetnya ada kartu pers.
            “Kamu kok tahu?”
            “Aku bisa meramal dan tahu apa yang sedang dipikirkan seseorang. Coba kulihat kartu pers, KTP, dan kartu mahasiswamu!”
            Walah, aku semakin terkesan tergesa-gesa dalam menjadikannya pacar kedua. Data dirinya sangat penting untuk dijadikan alasan layak atau tidaknya sebagai pacar. Bara menunjukkan semua kartu yang kuminta. Tak ada yang salah. Perkataannya dari awal benar-benar jujur dan apa adanya. Aku malah merasa bersalah karena sudah berbohong. Tapi biarlah, toh nantinya aku punya alasan yang kuat untuk minta maaf.
            “Kalau begitu, aku sudah tidak curiga lagi padamu.” Aku menyunggingkan senyuman termanisku. Setelah ini Bara harus menyukaiku dan menerima cintaku. Waktunya tinggal 15 menit lagi, atau aku akan kehilangan kesempatan. Sudah bukan jamannya cowok yang menyatakan cinta pada cewek. Sekarangkan sedang gencar-gencarnya seminar tentang emansipasi wanita. Sayang bila perjuangan R.A. Kartini disia-siakan begitu saja.
            “Bara, kamu belum punya pacar, ya?”
            “Kok, ngomong gitu?”
            “Soalnya di kartu identitasmu itu nggak tercantum statusmu, jomblo atau berpacaran...”
            “Aku nggak ngerti maksudmu dengan ngomong kayak gitu.”
            “Kan aku sudah bilang, kalau aku bisa meramal dan tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Kamu pasti jatuh cinta padaku pada pandangan pertama, buktinya saja kamu mau mentraktirku di kantin ini, padahal kita baru kenal. So, mau nggak jadi pacarku?”
            Percaya diriku sore ini benar-benar over dosis. Bisa-bisa Bara langsung pingsan atau malah kabur. Pasrah, cuma ini jalan satu-satunya.
            “Lho... kita kan baru kenal satu jam?” Bara terlihat bingung.
            “Soalnya aku pengin banget punya pacar mahasiswa yang juga wartawan!”
            Halah, tambah ngaco alasanku pada Bara. Kalau begini bisa-bisa aku ditolak mentah-mentah. Kulirik lagi jam kulit di pergelangan tanganku. Tinggal menghitung detik, maka tamatlah riwayat percintaanku.
            “Baiklah, kita jadian detik ini juga.”
            Hore..., sorakku dalam hati. Syukurlah Bara menerima cintaku pada detik-detik penghabisan. Mulai detik ini aku tidak akan merasa kesepian lagi. Akan ada pacar yang bersedia menemaniku kemanapun aku mau.
***

@NaministPopy


“Vi..., ada telepon untukmu,” teriak Mama dari ruang tengah.
            Aku yang sedang asyik membaca novel ‘The Einstein Girl’ di kamar atas, bergegas turun ke lantai bawah. Mama menyodorkan blackberry-ku yang tertinggal di dapur.
            “Kalau taruh hape jangan sembarangan. Kalau sampai hilang lagi, mama nggak akan membelikanmu hape yang baru,” ujar Mama, lalu bergegas meninggalkanku setelah blackbery ada di tanganku. Bau gosong dari dapur mulai tercium. Sepertinya Mama sedang menggoreng ikan dan meninggalkannya sejenak demi menyelamatkan sambungan telepon dari pacar baruku.
            “Berisik kamu, Vi... Sinetronnya lagi seru, nih. Teleponan di kamar saja, gih!” Kak Sherly memang egois bila sedang berkutat dengan hobinya; nonton sinetron cinta yang ceritanya gampang ditebak. Tapi setidaknya aku mesti berterimakasih pada kakak semata wayangku, ia telah memperkenalkanku pada tempat yang sangat sakral bagi perjalanan cintaku. Perpustakaan kampusnya memang ajaib.
            “Bara, ada apa?”
            “Apa kita mesti backstreet? Masa aku nggak boleh kenal sama ibu dan kakakmu? Kamu takut aku naksir mereka, ya...”
            “Bukan begitu...” Aku mencoba mencari alasan yang tepat, tapi belum menemukannya juga.
            “Vi, sudah malam. Cepat tidur. Jangan pacaran terus. Nanti kulaporin mama baru rasa!” Kakakku yang sok galak mengancamku. Bilang saja cemburu karena belum punya pacar. Padahal Kak Sherly kan cantik, tapi kok belum punya pacar ya....
            “Bar, udah dulu ya. Aku dimarahin kakak kalau ketahuan pacaran. Soalnya aku masih SMA dan mesti fokus ujian nasional. Nanti kalau sudah kuliah baru diizinin pacaran. Jadi, setuju kan kalau kita backstreet selama setahun.” Tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dengan sangat lancar. Pikirku, itu alasan yang paling masuk akal.
***
            Bara sangat berbeda dengan Jodhi yang perhatian dan sering memberiku bunga mawar putih dan cokelat batang kesukaanku. Ia cenderung cuek pada hal-hal sepele seperti itu. Menurutnya sepele, tapi menurutku itu sangat penting. Jangankan antar-jemput, ia saja selalu sibuk dengan kuliah dan liputan infotainment. Hei, Bara... seharusnya kau meliputku. Aku ini artis paling populer di lingkungan sekolah. Hah, hanya di sekolah ya. Dunia di belahan bumi yang lain mana ada yang mengenalku.
            Suatu hari, aku kepergok kakakku di perpustakaan kampusnya. Aku sedang menunggu Bara di sana. Perpustakaan adalah tempat favorit Bara setelah puncak gunung berapi. Ia pecinta alam sejati yang biasa mendaki gunung setiap liburan semester bersama komunitas mapala di kampus.
            “Hai, Vi... sedang apa di sini? Kita nggak janjian, kan?” Kakakku bingung campur geli melihatku celingukan kayak kambing betina.
            “Itu, Kak... eh...” aku bingung mau memberikan alasan apa. Seharusnya aku memang tidak punya urusan di kampus ini.
            “Oh, kamu mencari Jodhi ya?”
            “I... iya, Kak...” Akhirnya keluar juga alasan yang tepat.
            “Udah deh, nggak usah peduliin cowok brengsek itu. Kalau kamu mau diterima di kampus ini, kamu fokus aja sama sekolahmu. Jangan mikirin cowok melulu.”
            Keluar lagi sifat kakakku yang sok ngatur. Tapi sudahlah, yang terpenting aku selamat, tidak ketahuan mau bertemu pacar keduaku. Padahal aku kangen, sudah dua minggu tidak bertemu Bara.
            Semenit berlalu, fokus kakakku pindah pada lelaki yang berada jauh di depannya. Siapa, ya?  Saat ini posisiku membelakangi cowok tersebut. Kakakku melambai-lambaikan tangannya, seolah berkata, “Aku ada di sini. Kemarilah segera!” Di perpustakaan tidak diperkenankan berisik, takut mengganggu konsentrasi pengunjung lain.
            “Vi, kita keluar. Aku mau memperkenalkanmu pada seseorang. Dia pacarku, tapi ini rahasia kita berdua ya. Jangan cerita sama mama,” bisik Kak Sherly seraya menarik tanganku.
            “Kenalkan... Ini Silvia, adik semata wayangku,” kata Kak Sherly dengan bangga.
            “Cantik, kan. Walau Silvia bukan artis, tapi dia ini sangat populer di sekolah. Sampai-sampai setiap hari ada aja yang menyatakan cinta padanya. Tapi semuanya ditolak mentah-mentah.”
            Alamak, cowok yang dimaksud pacarnya Kak Shery itu adalah Bara. Malu setengah mati aku dibuatnya. Banyak cowok yang nembak aku, tapi malah aku yang nembak Bara. Belum lagi, aku ketahuan berbohong soal namaku. Semoga Bara bisa bersikap wajar di depan Kak Sherly. Jangan sampai hubungan kami selama ini ketahuan Kakak.
            “Namaku Bara..., senang berkenalan dengan adik pacarku.”
            “Ya, sama-sama.” Senyumku terasa dibuat-buat.
            Pertemuan singkat ini berakhir di gerbang pintu rumahku. Bara mengantarkan kami pulang. Kebetulan ia membawa mobil kantor ke kampus. Di depan gerbang ada Mama yang sedang menyirami tanaman. Terpaksa Bara keluar dari mobil dan menyapa Mama.
            “Sore, Tante.” Bara berusaha ramah. Kostumnya yang lebih mirip anak jalanan ketimbang mahasiswa membuat Mama jutek, walau tetap menjawab salam.
            “Siapa cowok itu?” tanya Mama setelah Bara pergi.
            “Teman kuliahku, Ma. Kebetulan aku diantar Bara pulang dan bertemu Via di jalan. Jadi kami pulang bareng,” jawab Kak Sherly, bohong.
            “Iya, Ma. Tadi pagi aku berangkat sekolah naik angkot. Daripada pulangnya naik angkot lagi, Ma,” tambahku.
            “Ya sudah, tapi jangan sampai salah satu dari kalian berpacaran dengan cowok model begitu, ya...” ujar Mama seraya memicingkan matanya.
            Aku dan Kak Sherly saling berpandangan. Seandainya Mama tahu yang sebenarnya, bila kami berdua tengah berpacaran dengan Bara... Habislah kami!
***

@NaministPopy