Paradoks Dua A


Paradoks Dua A oleh Naminist Popy 
Cerpen ini dimuat di Majalah STORY No.35 Tahun 2012

@NaministPopy


Ananta melirik jam tangannya. “Hah, telat satu jam?!” jeritnya, mengagetkan Ibu yang sedang memasak di dapur.
            “Ada apa, Nanta?” tanya Ibu khawatir.
            “Berangkat, Bu.” Ananta mencium tangan ibunya yang baru selesai mengulek sambal.
            “Lho, nggak makan dulu?”
            “Buru-buru, Bu!”
Sreeeet...
Ananta kepleset di teras depan. Rambutnya yang dikuncir kuda menyelamatkan dari benturan hebat di kepala. Kakinya yang keseleo tak menghalanginya untuk bergegas menuju tempat acara minggu pagi ini. Meskipun ia harus berjalan terpincang-pincang.
Kebun Raya Bogor sudah menantinya. Begitupun teman-temannya yang tergabung dalam komunitas Y-Green, sebuah komunitas yang beranggotakan remaja belasan tahun yang memiliki misi dalam penyelamatan lingkungan.
Ananta mencari rombongan berbaju hijau lumut. Belum juga ditemukan sampai akhirnya seorang lelaki yang berjalan terburu-buru menubruknya cukup keras.
“Hei, kalau jalan lihat-lihat dong!” Ananta melotot dengan mulut berkoar-koar seperti ayam jago di pagi buta.
Tanpa menoleh dan minta maaf, lelaki itu bergegas meninggalkan Ananta yang memarahinya habis-habisan. Lelaki itu membenahi posisi gitar yang dibawanya. Ia lebih memerhatikan keselamatan gitar dibandingkan keselamatan Ananta, gadis yang belum dikenalnya.
Teman-teman Ananta sudah menunggunya di Kafe Dedaunan. Vita menghubungi handphone Ananta dengan panik.
“Nanta, dimana? Acara udah dimulai! Ditunggu di Kafe Dedaunan, ya...” ujar Vita tergesa. Ia tak mau melewatkan kesempatan memperhatikan penampilan vokalis Band Alam, band baru yang sedang naik daun dengan single terbarunya “Go Go Green”. Dasar Ananta yang pikun dan sering amnesia parsial, ia baru ingat bahwa acaranya di Kafe Dedaunan setelah diberi tahu Vita.
Setelah kesasar ke sana kemari akhirnya Ananta menemukan lokasi yang dimaksud. Wajahnya yang dipenuhi keringat, bau badan yang menyengat, dan perut yang keroncongan, tetap membuatnya melotot garang ketika ditemukannya sosok lelaki yang tadi menabraknya. Hah, tukang ngamen itu ada di sini juga?! Suhu udara siang ini semakin panas saja. Bukan karena terkena dampak pemanasan global, tapi karena kehadiran lelaki itu.
“Nanta, kamu naksir cowok yang itu ya? Kok sampai melotot gitu ngelihatinnya?” tanya Vita, sahabat terdekat Ananta.
“Hah, naksir?! Melihatnya saja sudah mau muntah...” ketus Ananta.
Benar saja, perut Ananta mendadak mules. Ia bergegas ke toilet. Tak sengaja usai menyelesaikan urusannya di toilet, ia berpapasan lagi dengan lelaki itu. Diinjaknya kaki kiri lelaki itu untuk membalaskan dendam. Kemudian Ananta bergegas meninggalkannya tanpa rasa bersalah. “Impas,” katanya dalam hati.
Dengan riang Ananta kembali ke tempat duduk semula. Topi, cowok tinggi kurus yang sedari tadi duduk di bangku dari meja sebelah menghampiri Vita dan Ananta.
“Nanti gue kenalin sepupu gue yang tampan itu. Petikan gitarnya keren, kan! Dia lagi izin ke toilet bentar,” cetus Topi yang selalu mengenakan topi bermerk “Nike”. Hal ini dilakukannya bukan untuk mengenang artis fenomenal Nike Ardilla yang sudah meninggal saat dia masih bayi, tapi untuk melindungi kepalanya dari efek buruk sinar ultraviolet pada siang hari.
“Suaranya juga keren, kok. Ananta sampai melotot melihatnya,” celetuk Vita membuat Ananta jengkel.
Pasti Vita dan Topi sedang membicarakan lelaki angkuh yang enggan minta maaf itu. Sungguh terlalu! Untung saja Ananta sudah membalas perbuatannya. Dengan segenap kekuatannya saat menginjak kaki kiri lelaki itu, ia memperhitungkan derita apa yang akan dirasakan lelaki tersebut. Mungkin jalannya akan pincang, mungkin akan seperti penderita polio, atau paling parah lagi kalau sampai kaki kirinya diamputasi karena sandal gunung yang dipakai Ananta habis menginjak kotoran hewan yang mengandung kuman, bakteri, dan virus berbahaya.
“Dhik... sini!” teriak Topi ketika lelaki yang dimaksud menuju meja sebelah.
Lelaki itu menghampirinya dengan senyum mengembang. Namun ketika dilihatnya gadis jahil yang baru saja menginjak kaki kirinya, wajahnya berubah drastis.
“Andhika, ini Vita pacar gue. Ini Ananta, cewek tomboy, ceroboh, serampangan dan suka iseng! Tapi cinta lingkungan, makanya dia gabung di komunitas Y-Green.” Topi membuat Ananta melirik ke arahnya dengan sinis. Sial!
“Ananta, ini Andhika, vokalis Band Alam yang jago main gitar. Mau gitar listrik, gitar akustik, gitar bersenar empat, gitar bersenar enam, sampai gitar bolong pun dia kuasai...” Penjelasan Topi membuat Ananta berpikiran aneh dengan “gitar bolong” yang dimaksud. Gitar bolong? Sundel bolong, kaliii...
            Tak disangka, tak diduga, tak dikira... usai makan siang di Kafe Dedaunan, acara pindah ke alam terbuka, Ananta menemukan Andhika yang membuang sampah sembarangan dekat danau teratai Kebun Raya Bogor.
            “Hei, cowok jelek, kumel, suka iseng, angkuh, sombong, dan lain-lain... kalau buang sampah itu di tempatnya! Jangan sembarangan! Lagi pula ngapain juga makan dan minum yang ringan-ringan kayak begini, banyak mengandung pengawet dan menyebabkan banyak penyakit di masa tua, tahu! Emangnya di sekolah nggak belajar dampaknya apa?!” bentak Ananta sepuasnya.
            “Lho, ini kan di tempatnya! Lagian gue kan masih muda, masa tua mah nanti aja dipikirinnya!” kilah Andhika tak mau kalah.
            Dengan sabar Ananta mengambil sampah plastik bekas makanan ringan dan sampah kaleng bekas minuman ringan (jadi semuanya serba ringan) yang telah dibuang Andhika di pinggir danau teratai. Ia menarik tangan Andhika menuju tong sampah.
            “Di sini tempatnya. Sampah tempatnya di tong sampah, bukan di pinggir danau!” jelas Ananta masih dengan nada ketus.
            Ananta segera melaporkan perbuatan Andhika kepada Topi selaku ketua komunitas sekaligus sepupu Andhika. Baginya hal sekecil ini pun harus segera ditindaklanjuti agar dampaknya tak berkembang hingga menyebabkan banjir dan rusaknya ekosistem danau teratai. Meskipun sebenarnya, kolam kecil yang menghidupi dua bunga teratai itu belum layak disebut danau, Ananta tetap bersikeras menyebutnya danau biar terkesan elegan dan berkelas.
            “Nanta..., Andhika itu hanya iseng membuatmu kesal. Dia bukan tipe cowok yang nggak mencintai lingkungan. Buktinya dia pencetus nama Band Alam. Memangnya kalian ada masalah apa sih dari tadi berantem terus?” kata Topi bijak.
            Ananta menceritakan pertemuan pertama yang tak menyenangkan dengan Andhika, pembalasan dendamnya di depan toilet, sampai kejadian di pinggir danau teratai. Topi hanya geleng-geleng kepala mendengarkan curahan hati Ananta.
***

@NaministPopy


Masa liburan sekolah pun nyaris habis. Ananta dan Vita tak akan punya banyak waktu lagi untuk mengurusi tanaman-tanaman hiasnya di taman rumah masing-masing. Tugas-tugas sekolah siap mengantarkan mereka pada kesibukan yang tiada henti. Belajar dan belajar, begitulah misi selanjutnya. Sore ini Vita mampir ke rumah Ananta untuk menyampaikan sebuah berita.
“Kata Topi, hari ini Andhika ulang tahun. Topi juga bilang kalau Andhika mau ke Semarang nanti malam, lho. Ada jadwal manggung sama Band Alam di Semarang besok malam. Tapi siangnya mau mampir dulu ke rumah ibunya di Semarang,” ujar Vita berharap Ananta memedulikannya.
            “Masak bodoh! Emang aku pikirin...” balas Ananta acuh tak acuh.
            “Ananta, Andhika, Alam Band... Keren!”
            “Keren dari Hongkong? Yang keren tuh Ananta doang. Andhika is cupu... dan Alam Band, tadinya kupikir band penggemar lagu-lagu dangdut yang pernah dibawain Alam - adiknya Veti Vera...”
            “Husss... Kualat lho, Nanta. Minta maaf sebelum Andhika pulang. Yuk, aku temenin deh ke rumah Topi. Lagi pula bakalan ada kue blackforest yang lezat itu. Aku mau nyicipin, nih. Aku juga kangen belum ketemu Topi 22 jam 22 menit 22 detik...”
            “Kamu aja sendiri. Aku lagi sibuk, nih!”
            “Cieee, sibuk mikirin Andhika ya?”
            “Bukan! Mikirin cewek ceriwis yang mengganggu ketentraman hidup karena nyebut-nyebut nama cowok angkuh dan nyebelin itu!”
            “Ya udah, temenin aku beli kado buat Andhika aja deh...”
            “Tidakkk...” Ananta mendelik dan siap menerkam Vita dengan selang air yang digunakannya untuk menyiram tanaman.
            Ternyata usaha Vita untuk menyatukan dua sahabatnya yang berinisial “A” ini belum berhasil. Begitu pun dengan usaha Topi untuk menyatukan mereka. Belum sempat Vita melaporkan hal ini pada sahabatnya yang sekaligus kekasihnya itu, dering ponsel miliknya sudah berbunyi nyaring. Ia menjauh dari Ananta yang masih sibuk menyirami tanaman.
            “Gagal...” teriak Vita dan Topi hampir berbarengan.
***
            Kereta yang ditumpangi Andhika malam ini berangkat pukul sembilan. Dari Stasiun Jatinegara ia menunggu kereta itu dengan sabar. Sebenarnya ia ingin sekali minta maaf pada Ananta sebelum berangkat. Namun gengsi sebagai lelaki membuatnya enggan.
            Kereta pun datang, membawa paradoks hatinya yang tertinggal di Jakarta. Kota yang dituju akan membuatnya lupa akan perasaan itu. Perasaan yang sebenarnya berbeda jauh dengan sikap dan ucapannya selama bersama Ananta. Gadis itu sudah menyadarkannya tentang mencintai lingkungan meski dengan bahasa yang tak mengenakkan. Kebiasaan buruk yang sering ia lakukan karena tak menghiraukan nasehat sepupunya yang mencintai lingkungan. Mulai detik ini, ia akan belajar mencintai lingkungan. Membuang sampah di tempatnya, menghindari makanan dan minuman berpengawet, dan melakukan penghijauan di kontrakkannya. Tekadnya telah bulat, untuk melakukan perubahan dari diri sendiri, baru menularkannya pada orang-orang di sekitarnya.
            Kereta melaju secepat kilat. Sangat cepat hingga palang dibentangkan setiap akan melintas perempatan yang dilaluinya. Namun sebuah truk dengan supir yang mengantuk malam itu menerobos palang dan kecelakaan pun terjadi. Tak terlampau tragis, tapi memakan beberapa korban luka-luka. Hanya supir truk yang meninggal. Pihak rumah sakit menghubungi keluarga korban luka-luka. Keluarga Topi dihubungi malam itu juga.
***

@NaministPopy


“Nanta, semalam aku dapet kabar dari Topi kalau Andhika kecelakaan kereta...” ujar Vita saat istirahat.
            “Syukurin! Dia udah mati atau masih hidup?” tanya Ananta penasaran.
            “Masih hidup. Tapi belum sadar sejak semalam. Temenin aku jenguk dia sepulang sekolah ya!”
            “Pantesan Topi nggak masuk sekolah. Oh, lagi sama si cowok angkuh itu...”
            “Nanta, Andhika itu cowok yang baik. Bertanggungjawab banget sama keluarganya. Dia yang membiayai sekolah adik-adiknya di kampung dengan menjadi penyanyi di kafe-kafe.”
            “Tapi dia nggak cinta lingkungan!”
            “Sekarang dia udah berubah, kok. Dan semuanya karena kamu, Nanta. Selamat ya... Topi pernah cerita kalau Andhika itu rela merantau ke Jakarta demi melanjutkan sekolahnya dan bekerja keras membiayai keluarganya di Semarang. Dia nggak mau tinggal di rumah Pamannya yang juga ayah Topi, dan lebih memilih mengontrak dekat sekolah. Dengan kemampuannya menyanyi dan memainkan alat musik gitar, dia bekerja di kafe-kafe. Hebat, kan?!”
            Ananta terenyuh mendengarkan cerita tentang musuh bebuyutannya itu. Dengan sabar Vita terus membujuk Ananta untuk menjenguk Andhika. Sampai akhirnya Ananta mengiyakan.
            Hari pertama sekolah, mereka pulang cepat. Vita dan Ananta menuju swalayan terdekat untuk membeli sekeranjang buah-buahan segar. Ada apel, jeruk, pir, dan anggur yang disusun dengan rapi dan menarik. Diam-diam Ananta membeli sebuah kotak musik berbentuk gitar dan menulis sebuah pesan sebelum meminta pelayan membungkusnya dengan kertas kado.
            Sesampainya di rumah sakit Ananta melihat Andhika terbaring tak berdaya. Sebelah kakinya yang patah diangkat dengan alat. Kaki kirinya, kaki yang pernah Ananta injak dengan kejam. Ananta menghampiri lelaki yang pernah membuatnya kesal.
            “Andhika masih koma, belum sadar sejak semalam. Kata dokter dia mengalami goncangan dahsyat di kereta. Mungkin ini yang namanya sedang mati suri. Doakan saja semoga Andhika cepat sadar...” ujar Topi bijak.
            “Hah, mati suri?!” Baru sekarang Ananta merasa takut kehilangan Andhika. Semoga ia belum terlambat untuk minta maaf.
            “Dan hanya bisa sadar dari mati suri bila sang putri mengecup keningnya. Lakukanlah sebelum dia meninggal, Nanta,” kata Vita asal.
            Mata Ananta yang tadinya berkaca-kaca memandangi Andhika, kini mendelik ke arah Vita. Kemudian melotot seperti kuntilakan kehabisan darah dan daging segar.
            “Andhika, maafkan aku ya. Belum sempat mengucapkan selamat ulang tahun untukmu. Kado dariku ini semoga membuatmu sadar.” Ananta meletakkan kado yang terbungkus kertas kado bermotif dedaunan di meja samping tempat tidur. Sejak kapan gadis tomboy nan ceroboh ini berubah jadi romantis. Vita dan Topi geleng-geleng kepala.
            “Sebenarnya sudah sejak lama aku mau berteman denganmu. Tapi gengsi. Habis kamu sombong, sih. Aku kesal sama orang seperti itu. Sekarang aku malah sangat takut bila kehilangan kamu. Cepat sadar ya, Andhika,” lanjutnya lagi.
            “Kata dokter kaki kiri Andhika kena virus berbahaya, semacam kotoran hewan yang rabies. Apa ini karena kamu yang menginjak kaki kirinya waktu di Kebun Raya Bogor, Nanta?” tanya Topi sambil menahan tawa dalam hati. Vita menoleh ke arah pintu agar tak ketahuan terkikik mendengar ucapan pacarnya.
            “Iya, Andhika, maaf... waktu itu aku habis kepleset nginjek kotoran ayam di teras rumahku. Aku buru-buru berangkat, nggak cuci sandal dulu,” Ananta semakin dilanda penyesalan. Air mata penyesalannya jatuh satu satu ke pipinya.
            “Maafkan aku... aku mau menebus kesalahanku dengan apa pun,” Ananta berharap Andhika mendengar kalimat terakhirnya.
            Vita dan Topi tak sanggup lagi menahan tawa. Tawa mereka meledak seketika. Ananta melongo memperhatikan sahabat-sahabatnya yang bersikap aneh.
            “Hei, kalian berdua jahat banget sih. Temen kita lagi sekarat malah diketawain kayak gini!” bentak Ananta kesal.
            “Dhik, udahan pura-puranya. Buruan siuman, sebelum kita siram pake water-closet toilet. Hahaha...” teriak Topi, lalu terbahak-bahak melihat Andhika sadar dan meliriknya jenaka.
***
 
@NaministPopy


Terima kasih kepada Okky Novwhirawan Sandra Dewi atas komentarnya untuk cerpen saya ini.

"Hai, Story yang selalu di hati dan cerpen-cerpennya selalu bikin penasaran tiap edisinya. Dari sekian cerpen yang saya baca, saya tertarik dengan cerpen karya Mbak Naminist Popy, yang berjudul Paradoks Dua A. Kisah dalam cerita ini lucu menurut saya. Pertemuan antara Ananta dan Andhika yang pada awalnya terjadi begitu menyebalkan, tapi pada ending cerita ini bikin senyum dikulum deh. Andhika yang pada awalnya kurang memperhatikan lingkungan pun akhirnya tersadar setelah pertemuannya dengan Ananta. Sederhana dalam cerita namun mengajarkan bahwa kita harus mencintai lingkungan. Pokoknya keren deh cerpen ini, sukses selalu buat Mbak Naminist Popy yah, saya tunggu cerpen selanjutnya dari Mbak... Buat Story aku makin cinta deh."