MoleGue


MoleGue #1

Saya memiliki seorang sahabat. Biasa saya panggil Mole. Mole bukanlah seorang makhluk gaul yang terbiasa menggunakan “lo-gue” dalam percakapan sehari-hari. Namun, berhubung dia sedang belajar untuk menggauli (ups, maksudnya bergaul), jadi sekarang kalo dia ngomong selalu “lo-gue”. Bukan “lo-gue end”, lho. Jiaaah, itu sih si Poconggg, hihihi.
Lo nggak perlu mempertanyakan jenis kelamin Mole. Sesuai semboyan keluarga berencana: “Dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja”. Tapi, Lo pasti mempertanyakan keberadaan tahi lalat Mole, kan? Soalnya “Mole” itu artinya tahi lalat. Kalo Lo berpikir tahi lalat itu ada di sekitar wajah Mole, Lo salah besar! Karena Mole nggak punya tahi lalat di bagian wajah, baik dekat lubang hidung, samping mata, apalagi di bawah bibir. Tahi lalat Mole ada di... biarlah hanya gue dan Mole saja yang tahu, hehehe.
Pada awalnya Mole nggak terlalu tertarik buat nulis blog kayak gini. Apalagi kalo sampe mengumbar kehidupan pribadinya kayak orang-orang yang pengen terkenal, dikenal, atau mengenal. Ups, maksudnya mengenal orang-orang yang terkenal dan dikenal banyak orang. Pusing kan, Lo? Lidah emang nggak bertulang. Ups, malah tambah ngaco! Tapi, nggak tahu tuh kenapa dia berubah pikiran. Mungkin kesambet makhluk gaib waktu lewat kuburan malam-malam. Udah gitu dia minta gue yang nulis buat dia. Dasar Mole, emang dasar! Kayak lagunya Band WALI...
Meskipun Mole manusia sungguhan, terkadang Mole suka loncat-loncatan juga kalo menang taruhan sepak bola, motoGP, atau F1. Walaupun hadiahnya cuma ditraktir makan di pinggir jalan. Kalo di tengah jalan ketabrak dong! Entahlah, mungkin ini disebabkan naluri tahi lalat yang ada di... Ups, lagi-lagi hanya gue dan Mole yang tahu.
Yang gue heran sih, kenapa kemarin Mole mau bela-belain baca bukunya si Poconggg, ya? Padahal sebelumnya, Mole tipe manusia serius yang anti cerita humor, apalagi kalo sampe dikategorikan gokil. Oh, tidak bisaaa... Ternyata manusia itu sewaktu-waktu bisa berubah, yah. Sesuatu banget, yah. Kalo gitu, alhamdulillah, yah. (Mendadak kerasukan Syahrini)
Itulah Mole, dengan segala tahi lalatnya. Semoga Mole selalu jauh di mata, dekat di hati. Sekarang waktunya Mole buat mandi kembang tengah siang bolong. Membersihkan tahi lalat, sekalian sama lalat-lalatnya.
MoleGue #2
Mole bengong waktu makan siang di salah satu restoran cepat saji. Fried Chicken yang lagi dia santap dengan lahapnya mendadak lepas landas ke tempatnya semula. Hal ini bukan disebabkan ulah Si Poconggg yang loncat-loncatan tengah siang bolong, tapi dikarenakan telinganya yang mendadak gatel mendengar percakapan dua ABG yang pernah ke luar negeri.
Gimana nggak bengong?! Boro-boro ke luar negeri, ke Bali aja dia belum pernah. Yang pernah dia kunjungi baru Jakarta dan sekitarnya doang. Oh, sungguh bagai katak dalam tempayan, (eh, tempurung).
Kalo nggak percaya intipin aja Mole yang lagi nguping percakapan dua ABG itu. Mumpung belum ada yang melarang buat ngintip percakapan. Kalo ngintip mereka mandi, dilarang keras sama nyokap-bokapnya.
“Liburan nanti gue mau ke Singapur,” celetuk ABG yang rambutnya dikuncir kuda.
“Awas, ketemu singa,” sahut ABG yang rambutnya megar kayak singa.
“Sekarang gue malah ketemu singa,” sindir ABG yang mau ke Singapura.
“Rambut gue mesti dibonding kali, ya?” ABG singa akhirnya nyadar diri.
Dan seketika obrolan mereka berubah jadi perbincangan satu arah seputar salon dan kecantikan. Namun ABG kuncir kuda yang tampangnya rada tomboy, nggak rela waktunya berakhir sia-sia demi membicarakan hal nggak penting soal cewek yang mesti feminim. Jadi cewek apa adanya aja. Kan jaman emansipasi wanita! ABG tomboy itu buru-buru mengalihkan pembicaraan ke topik semula, LUAR NEGERI.
“Balik lagi ke luar negeri. Lo pernah ke mana aja, Ki?” tanya ABG tomboy seraya mengaduk-aduk spageti yang dibubuhi saos tomat.
“Liburan tahun lalu gue sama keluarga keliling Eropa. Ke Prancis, Inggris, Itali, Jerman, Belanda. Pokoknya seru deh, Ka!” jawabnya, memamerkan deretan gigi putihnya yang dipagar betis dengan besi 24 karat. ABG tomboy manggut-manggut. Kuncir ekor kudanya bergerak ke kiri dan kanan seperti bandul.
Begitulah nasib Mole. Deritanya tiada akhir. Kapan dia bisa ke luar negeri kayak mereka? Keliling dunia; ke benua Eropa, Amerika, Afrika, Australia, Asia, bahkan kutub utara dan selatan! Kapan dia bisa kayak mereka? Buat jajan dan ongkos sehari-hari aja udah super irit. Oh, betapa beruntungnya orang-orang yang terlahir jadi orang kaya. Asal bukan anaknya koruptor atau bandar narkoba, ya!
Mungkin Mole belum butuh ke luar negeri kali, ya? Tuhan bakal ngabulin apa yang dia butuhin, bukan yang dia pengenin. Karena Tuhan lebih memahami hambanya. Ups, kok kayak ceramah, sih! Untuk menghindari rasa iri dan dengki sama nasib dua ABG tajir itu mendingan Si Mole belajar bahasa asing terlebih dahulu. Kalo perlu bahasa pinguin biar nggak kesasar waktu menjelajahi kutub utara dan selatan, hehehe. Btw kenapa Si Mole nggak sapa aja dua ABG itu. Siapa tahu dia bisa nebeng mereka ke luar negeri.

MoleGue #3
Semalam Mole nonton stand up comedy di TTA. Gue lihat dia ngakak sampe guling-guling, waktu Ryan dan Akbar tampil. Tiga sesi gitu. Radityadika dan Pandji juga ikutan nyumbang comic waktu para juri diskusi nilai. Pokoknya Lo tonton Sabtu malam atau Minggu siang di Kompas TV aja deh siaran tundanya. Ups, kayak bola aja siaran tunda.
Band Naif juga ikut meramaikan acara. Sekarang David Naif jadi ganteng, lho. Plus lebih kurus dari sebelumnya. Mirip Eko Patrio. Mole aja sampe terkesima lihat wajahnya yang berubah total. Berasa abis operasi plastik, hehehe.
Yang paling seru waktu acara bubar, huahaha. Soalnya si Mole bisa pindah dari tribun ke depan panggung. Terus dengan PD-nya minta foto bareng sama sang juara. Jiiiaaah, untung aja Ryan Adriandhy gak muntah foto bareng Mole, hehehe. Dan gue bisa nimbrung foto sambil ngucapin selamat buat Ryan.
Tapi, yang rada nyebelin adalah ketika Mole naik-naik ke atas panggung buat ngambil balon. Hadeeeh, gak penting banget, kan! Emangnya anak TK berburu balon segala?! Capek, deh!
"Mole, pulang yuk. Udah pagi, nih!" Gue buru-buru ngajak dia pulang sebelum ayam jago berkokok. Takut Mole berubah jadi buto ijo.
"Entar, ah. Gue mau ngambilin balon dulu," balasnya tanpa peduli mata gue yang tinggal 5 watt.
"Gue tinggal, ya!"
"Jangan..."
Gue tahu banget kalo Mole paling takut sendirian. Apalagi kalo sampe gue tinggalin, dia bisa nangis kejer sepanjang hari. Penyakit ngambeknya susah banget disembuhin. Alhasil dia cuma bawa balon ungu yang lumayan besar. Nah, yang jadi masalah dia bingung mau naruh di mana tuh balon? Dengan otak liciknya yang tak pernah kehabisan akal, Mole ngempesin balon ungu dan menaruhnya dalam tas slempang gue.
"Beres. Cabut...!"
Sekarang balon itu udah ditiup lagi jadi besar. Lebih besar dari tahi lalat Mole yang letaknya ada di... *sensor. Hanya gue dan Mole yang tahu, hehehe.


MoleGue #4

Sore ini gue pulang bareng Mole menumpangi angkutan umum yang ngetem di bawah kolong jembatan penyebrangan. Mr.Gamayel, seorang polisi yang pernah ikutan stand up comedy menghampiri abang angkot, lantas bertanya, "Mana surat-suratnya?"
Bukannya memperlihatkan surat izin mengemudi dan surat tanda nomor kendaraan, abang angkot malah menyerahkan surat putus cinta dari mantan pacarnya. So, Mr.Gamayel nggak segan-segan memberikan balasan dengan surat tilang. Akhirnya gue dan Mole menunggu abang angkot menyelesaikan urusan tilang. Gue bersyukur urusannya nggak terlalu lama, tapi ngetemnya yang lama.
Dua kali pengamen nyanyi lagu melayu total, dua kali tukang asongan nawarin tisu duaribuan, angkutan dalam kota berwarna merah bukan marun itu masih belum nambah penumpang. Dengan berat hati abang angkot melajukan kendaraannya sebelum gue dan Mole mengancam untuk turun tanpa membayar ongkos angkutan karena belum sampai di tempat tujuan.
Saat tiba di depan halte sekolah, lima anak sekolah menengah pertama dengan seragam putih birunya naik ke angkot, empat cowok dan satu cewek. Wajah abang angkot berubah semringah. Mole menginjak kaki gue, lalu mengendikkan dagu ke arah sopir dan berbisik, "Lihat, tuh!"
"Kalo lo jadi sopir angkot juga pasti sebelas duabelas kayak abang angkot," sahut gue, lirih.
Keempat anak sekolah yang duduk di bangku empat (angkot yang gue tumpangi menganut sistem duduk empat-enam) berisik gosipin guru sekolahnya yang cinlok. Satu anak yang duduk di samping Mole diem aja. Mungkin karena dia cewek sendiri, atau mungkin juga karena lagi sariawan, tapi kayaknya sih karena kaget lihat tahi lalat Mole yang ada di... Ups, hanya gue dan Mole yang tahu. Kalo anak itu bisa tahu, artinya dia punya indra keenam. Dan lagi, dia duduk di bangku enam kayak gue dan Mole.
Satu per satu dari mereka turun dari angkot. Anak cowok yang bertampang tengil turun di markas tukang ojek pengkolan. Mungkin mau ikut shooting sinetron tukang ojek pengkolan. Ia bilang ke abang angkot, "Belakang, Bang!"
Dengan spontan gue dan Mole menoleh ke belakang. Oh, maksudnya yang bayar ongkosnya temannya yang duduk paling belakang. Abang angkot manggut-manggut, gue dan Mole pun ikutan manggut-manggut.
Tak lama kemudian dua anak cowok lainnya turun di depan rental playstation. Mungkin mau main PS 4. Kedua bocah tengil ini kompak mengikuti jejak temannya bilang, "Belakang, Bang!"
Tentu saja, gue, Mole, dan abang angkot telah memahaminya.
Anak cowok terakhir yang duduk di bangku paling belakang turun di depan swalayan indomerit. Mungkin mau belanja keperluan dapur. Bukannya bayar ongkos ke abang angkot malah bilang 'belakang' juga. Mau nggak mau gue dan Mole menoleh ke anak sekolahan yang tersisa, si anak cewek yang pendiam itu. Serta meralat bahwa maksud 'belakang' bukanlah yang duduk paling belakang, melainkan yang turun paling belakang.
Si anak cewek pendiam turun di gapura yang jaraknya cuma 200 meter dari tempat gue dan Mole akan turun nanti. Dia bilang, "Belakang, Bang!"
Gue dan Mole celingak-celinguk ke kiri dan kanan. Hanya tinggal kami berdua penumpang yang tersisa di angkot ini. Jadi, kami yang harus nombokin kelima bocah tengil itu? Oh, No!
Abang angkot melajukan kendaraannya kembali. Menganggap kamilah yang harus bertanggungjawab atas ongkos kelima anak itu. 200 meter pun terlewati. Gue dan Mole bergegas turun dari angkot dan kompak teriak, "Belakang, Bang!"
Abang angkot bengong. Merasa ada yang salah. Yang turun paling belakang kan abang angkot, berarti dia harus membayar ongkos ketujuh orang yang tak dikenalnya ini dong? Ah, sudahlah, gue dan Mole sudah berlari sekencang mungkin menjauhi angkot. Jadi abang angkot nggak bakal bisa mengejar. Apalagi buat mencubit tahi lalat Mole yang ada di... hanya gue dan Mole yang tahu.
***

MoleGue #5

Udah belasan kali gue dan Mole jadi korban PHP Pensil Tok. FYI, Pensil Tok itu merupakan toko yang khusus menjual beraneka macam jenis pensil. Mulai dari pensil buat ujian alias 2B, pensil warna, sampai pensil alis. Kenapa namanya Pensil Tok? Jelas karena yang dijual cuma pensil, bukan yang lain. Tok dalam bahasa Jawa artinya hanya itu doang. Mungkin pemilik Pensil Tok orang Jawa, ups dilarang SARA! Jadi, jangan harap kalian bisa menemukan penghapus, penggaris, maupun perabotan dapur.
Ada 13 cabang offline store Pensil Tok yang tersebar di mall kota kami. Daftar alamat tokonya terpampang jelas di web online store Pensil Tok. Awalnya kami ingin order online pensil tinta (pensil yang kalau digoreskan di kertas efeknya bakal serupa tinta, tetapi tetap bisa dihapus), namun nomor online store-nya tulalit terus. Akhirnya dimulailah petualangan gue dan Mole mendatangi satu per satu gerai Pensil Tok sesuai urutan jarak tempuh terdekat sampai yang terjauh dari rumah.
Petualangan kali ini adalah petualangan ke-13. Kalo sampai nggak menemukan gerai Pensil Tok lagi artinya 13 benar-benar angka sial. Mall yang kami datangi hari ini merupakan mall terjauh dari rumah. Mall Kelapa Parut letaknya di utara kota.
“Semoga hari ini kita beruntung! Amiin...”
Gue mengamini doa Mole. Kami melangkah masuk ke pintu utama dengan penuh semangat. Pak Satpam tak berhasil mendapatkan apa-apa usai merazia kami. Gue dan Mole memang nggak bawa bom, kok! Yang kami bawa cuma ransel berisi bekal makan siang dan botol air mineral supaya mengirit nggak jajan di food court.
“Berdasar informasi yang gue dapat di web, posisi Pensil Tok ada di lantai 4. Naik lift aja, yuk!” cetus gue saat Mole kelihatan bingung milih eskalator atau lift. Kalau tangga darurat sih nggak bakal jadi pilihan sebelum ada bahaya yang mengancam jiwa kami. Mole mengangguk setuju dan membuntuti gue masuk ke lift.
Sesampainya di lantai 4, gue dan Mole berkeliling dari toko satu ke toko lainnya. Mulai dari toko kosmetik, toko sepatu, sampai toilet dan mushola. Namun sayangnya kami belum menemukan Pensil Tok juga.
“Mole, tanya Pak Satpam, gih!” perintah gue. Mole kalo lagi ada maunya gampang disuruh-suruh, hehehe.
Lagi-lagi Mole mengangguk, “Oke deh, kebetulan Pak Satpam yang di sini rada cakepan.”
Ya, gue akui satpam di lantai 4 masih muda dan mirip aktor Korea habis operasi plastik.
Mole bergegas menghampiri Pak Satpan, kali ini gue yang jadi buntutnya.
“Siang, Dik. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Pak Satpam sangat ramah.
“Pak, toko Pensil Tok sebelah mana ya?” balas Mole penuh hikmat. Tumben Mole nggak pakai basa-basi memuji hidung bangir Pak Satpam dulu.
“Oh, PTS ya, alias Pensil Tok Store?” Pak Satpam menggaruk-garuk hidungnya. Entahlah, itu garuk atau ngupil.
“Iya, Pak. Dari informasi yang saya dapat dari teman saya,” Mole menoleh ke arah gue, “tokonya ada di lantai 4.”
Gue manggut-manggut mendukung ucapan Mole. Pak Satpam ikut manggut-manggut. Gue nggak nyangka kalo manggut-manggut itu bisa menular.
“Tapi kami udah keliling lantai 4 dari ujung ke ujung belum nemu juga, Pak!” Mole melanjutkan ucapannya.
Lama kami menunggu jawaban. Pada detik-detik penghabisan kesabaran kami, Pak Satpam pun akhirnya menjawab, “Maaf, Dik. Saya cuma satpam dadakan di sini. Cuma menggantikan tugas Pakde saya yang nggak bisa jaga karena isterinya sedang melahirkan.”
“Apa?!” Gue dan Mole kompak teriak dengan frekuensi 19.999 Hz. Pantesan aja tampang Pak Satpam yang lumayan nggak mecing sama profesinya. Ternyata hanya menggantikan.
“Coba cari di situ aja, Dik!” Telunjuk Pak Satpam Dadakan mengarah ke mesin navigasi dekat eskalator.
Seratus buat Pak Satpam Dadakan. Semoga mesin ajaib itu bisa menolong kami. Gue dan Mole bergegas menghampiri mesin navigasi mall ini.
Usai mensearch Pensil Tok di mesin navigasi, kami mendapatkan informasi bahwa posisi Pensil Tok terletak di belakang toko sepatu yang tadi kami lewati. Gue dan Mole loncat-loncat kayak orang menyundul bola saking senangnya. Kami pun menuju toko sepatu sebagai patokan.
Berkali-kali muterin toko sepatu, bagian belakangnya hanyalah berupa ruang renovasi. Jelas sekali bila toko sepatu sedang melakukan perbaikan di bagian belakang. Seketika gue dan Mole merasa lemah, letih, lesu. Wajah kami pasti tampak sangat menyedihkan seperti penderita anemia akut. Kami terduduk di depan papan triplek renovasian toko sepatu kayak dua orang pengemis belum dapat uang recehan.
“Tanda-tanda bakal celaka 13, nih!” celetuk gue, asal.
“Ini cabang Pensil Tok terakhir yang ada di list,” Mole menghela napas, “Seandainya Pensil Tok ada di balik triplek ini, kita bakal dapatin pensil tinta buat ujian esainya Bu Nila.”
Wajah Bu Nila, guru Fisika yang killer terbayang di benak gue. Bu Nila melarang keras siswa-siswinya mengerjakan soal esai pakai pensil dan ia pun tidak membolehkan ada tip-ex sama sekali. Dia satu-satunya guru yang rajin bikin soal esai pada saat guru lainnya nggak mau repot mengoreksi tulisan cakar ayam anak didiknya. Menurutnya, soal-soal dalam bentuk pilihan ganda menjadi penyebab murid-murid sekolah kami malas belajar. Dengan soal esai akan terlihat jelas materi mana yang paham dan belum, serta murid mana yang berhak tidak ikut remedial.
Mole berandai-andai lagi, “Seandainya nomor telepon, whatsapp, line, BBM online store Pensil Tok bisa dihubungi dan kita bisa memesan pensil tintanya secara online mungkin sekarang kita...”
Sebelum Mole mengungkapkan niatnya membantu teman-teman sekelas dengan membeli dan menjual kembali pensil tinta di kelas kami dengan harga selangit demi mendapatkan keuntungan semata, gue buru-buru menunjuk SPG yang ada di toko sepatu.
“Mendingan sekarang lo tanya SPG toko sepatu itu!” Lagi-lagi gue memanfaatkan kelemahan Mole yang gampang disuruh-suruh kalo ada maunya.
Mole bangkit dari posisinya dan bergegas menghampiri Mbak SPG yang cantik. Gue membuntutinya di belakang.
“Siang, Mbak,” sapa Mole sok ramah. “Siang juga. Silakan dilihat-lihat koleksi terbarunya. Sepatunya bagus-bagus lho, Dik. Ukurannya berapa? Biar saya carikan.” Mbak SPG memberikan senyuman mautnya ke arah Mole. Tentu saja, Mole langsung klepek-klepek secara dia makhluk AC-DC. Sama satpam dadakan mau, sama SPG bukan dadakan juga mau.
“Maaf, Mbak. Kami bukan cari sepatu,” gue mengambil alih tugas Mole. “Kami mau tanya, Mbak. Barusan kami lihat di mesin navigasi kalo Pensil Tok ada di belakang toko ini, tapi kok di belakang toko ini...”
Belum selesai gue ngomong, Mbak SPG keburu menyahut, “Oh, Pensil Tok Store-nya udah tutup. Tadinya memang di belakang toko ini, tapi sekarang tempatnya kami sewa buat memperbesar toko sepatu kami.”
Penjelasan Mbak SPG cantik ini membuat gue dan Mole sekali lagi menjerit dengan frekuensi 19.999 Hz, “Jadi, tokonya BANGKRUT!”
OMG, untung tahi lalat Mole yang letaknya hanya gue dan Mole yang tahu masih tetap di posisi semula setelah melalui petualangan pencarian 13 cabang Pensil Tok dan teriakan kami yang frekuensinya mencapai 19.999 Hz.

***

Tunggu serial MoleGue selanjutnya ya. :) Yup, MoleGue #5 pastinya, yang entah tentang apa dan kapan postingnya, hehehe. Tapi yang pasti, hanya gue dan Mole yang tahu keberadaan tahi lalat Mole!